Semenjak migrasi manusia pertama kali ke benua Asia, manusia Asia telah dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi geologisnya. Hamparan gunung berapi aktif, hutan tropis maha lebat, dan laut beserta aktivitas seismik dan perubahan angin, mendorong manusia membangun narasi untuk membuat keterlemparan mereka di tengah itu semua menjadi lebih masuk akal atau layak dijalani. Mulai dari menempatkan arwah nenek moyang di hutan, melarung sesajian untuk penjaga lautan, hingga aksi menyucikan gunung, telah berperan penting dalam wawasan mereka untuk tidak sembarangan membabat hutan, memancing berlebihan, ataupun dalam menyiasati hidup di kawasan rawan gempa (patahan) dan tsunami. Jejaring narasi inilah yang mengembangkan indera ke-bumi-an kita. Warisan berbagai “pencerahan” yang menghasilkan gugus-gugus isu dan arwah-arwah nenek moyang yang semakin kehilangan tempat untuk istirahat, kini bergentayangan berkumpul menjadi hantu-hantu Tenggara.” (Luthfan Nur Rochman)
Kondisi demikian tak lepas dari modernitas yang memaksa manusia Tenggara untuk beradaptasi dengan tata cara hidup yang ‘berbeda’ dari apa yang diwariskan oleh nenek moyangnya, hingga kemudian mengikis jejak-jejak kebudayaan mereka sendiri. Dari sisa-sisa yang kita lihat sekarang, tentu saja ada yang menjadikannya terus bertahan dan dipercaya oleh sebagian masyarakatnya. Dari visual dan suara yang paling purba, jejak itu itu kadang muncul, kadang hilang. Ia menjadi hal yang asing atau justru dianggap sebagai sesuatu yang bukan bagian ‘kebudayaan kita’ oleh banyak masyarakat kita.
Pada pertunjukan 69 Performance Club edisi ke-17 ini, bingkai kuratorial yang didorong kepada tiap partisipan adalah bagaimana bunyi menjadi elemen penting dalam sebuah karya seni performans. Hantu Tenggara mengajak partisipan untuk melakukan penelusuran jejak purba manusia Tenggara melalui bunyi, gerak dan bentuk, yang dihadapkan pada situasi kita saat ini. Metode yang digunakan dalam penelusuran itu dapat berupa studi yang antropologis, teknologis, ataupun spekulasi bebunyian yang paling purba dihasilkan oleh tubuh.
“Since the first human migration to the Asian continent, Asian humans have been required to adapt to their geological conditions. The expanse of active volcanoes, the dense of tropical forests, and the sea along with seismic activities and changes of the wind, encourage people to build narratives to make their pitch in the middle of it all to be more reasonable or worth living. Starting from placing ancestral spirits in the forest, banning offerings to guard the oceans, to purifying the mountains, has played an important role in their mind to not carelessly cut down forests, overfishing, or in dealing with life in areas prone to earthquakes and tsunamis. This narrative network develops our sense of earth. The legacy of various “enlightenment” that produced clusters of issues and spirits of ancestors who increasingly lost their place of rest is now wandering around gathering into Southeast ghosts (hantu-hantu Tenggara).” (Luthfan Nur Rochman)
Such conditions are inseparable from modernity which forces Southeast people to adapt to ‘different’ ways of life from what was inherited by their ancestors, and then erode the traces of their own culture. From the remnants of what we see today, there are people who preserve it and still believed by some people. From the earliest visuals and sounds, those imprints sometimes appear, sometimes disappear. It becomes a strange thing or even considered as something that is not part of ‘our culture’ by many of our society.
In this 17th edition of 69 Performance Club performance, the curatorial frame that is encouraged to each participant is to make a sound as an important element in the performance artwork. Southeast Ghost invites participants to look deep into ancient traces of Southeast humans through sound, motion, and form, which is confronted with our current situation. The method used in the search can be in the form of anthropological, technological studies, or speculations of the earliest sounds produced by the body.