Dalam sejarahnya, seni performans muncul dalam rangka untuk mengonseptualisasikan ulang apa itu seni, performance, dan performativity . Penekanannya adalah pada bagaimana, dan sampai sejauh apa, seni dapat membebaskan suatu peristiwa dari representasinya; serta dengan cara performatif menantang untuk diadakannya perbedaan antara representasi dan karya seni. Untuk itu, praktik seni yang performatif menciptakan peristiwa, alih-alih produk yang dapat direproduksi secara berulang-ulang. Ia tidak lagi menciptakan objek, namun menciptakan konteks yang berbeda di setiap waktu dan spasialitas yang melingkupinya. Tubuh hadir menciptakan sebuah peristiwa yang selalu berubah sesuai dengan waktu dan tempatnya. Tubuh dan peristiwa ini tentunya tidaklah bersifat representatif. Ia justru adalah kehadiran (presence) itu sendiri. Dalam konteks ini, performance dan performativitas dapat menjadi revolusioner, karena kedua hal itu dapat membongkar hal-hal yang tetap dalam masyarakat, seperti ide tentang apa yang masuk akal, ide tentang otoritas dan authorship, dan ide tentang justifikasi.
Pada seni video, sebaliknya, representasi merupakan keniscayaan. Tubuh, yang merupakan presentasi, hadir dalam video sebagai tubuh representasi. Di dalamnya terdapat kerja permainan mekanika dan digital dalam berbagai teknologi. Lalu bagaimana kebersituasian dalam seni performans dan representasi dalam seni video hadir secara bersamaan? Berbeda dengan seni-seni sebelumnya yang bertujuan untuk sekadar merepresentasikan realitas, teknologi kamera dapat mengubah perspektif kita dalam melihat kenyataan. Kamera mengubah apa yang kita lihat dan cara kita melihat sesuatu. Pendekatan video dalam seni performans di sini (dan juga berlaku sebaliknya: pendekatan performatif dalam seni video) dapat menjadi otokritik terhadap teknologi representasi; teknologi yang punya kecenderungan untuk mengabadikan atau memberikan legitimasi pada gagasan dan asumsi akan sesuatu yang tetap di masyarakat. Yang mana sesuatu yang tetap tersebut adalah hal yang ingin dibongkar oleh seni performans. Permainan mekanika dan digital dalam video itu yang kemudian mereplikasi. Ia mendistorsi dengan cara melipatgandakan realitas dan maknanya. Dengan begitu ia menghancurkan makna yang otentik dan orisinal dari realitas. Maka, seni performans dan seni video lahir atas dasar yang sama: kritik akan medium seni sebelumnya yang telah mempunyai status-quo nya; dan juga kritik akan permasalahan sosial politik yang hadir dalam masyarakat.
Pada edisi ke-20 ini, 69 Performance Club menghadirkan karya-karya video performans dari para seniman yang tergabung di dalamnya. Presentasi karya-karya video performans para seniman dilakukan lewat kanal media sosial instagram @69performanceclub. Tentu platform ini dipilih bukan tanpa alasan. Setelah sekitar empat bulan sejak pengumuman resmi pemerintah bahwa terdapat kasus positif COVID-19 di Indonesia, penjarakkan fisik masih merupakan imbauan utama agar penyebaran virus dapat diminimalisasi. Saat berkumpul di ruang publik menjadi hal yang sangat dihindari, konsep media sosial sebagai ruang publik menjadi semakin relevan. Dalam hal ini, media sosial tidak hanya berlaku sebagai ruang sebagai tempat presentasi, tapi juga ruang dalam konsep abstrak. Ruang tempat kenyataan dan memori yang membentuk pemahaman kita dibuat. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, kamera mengubah apa yang kita lihat dan mengubah cara kita melihat sesuatu, apalagi ditambah dengan media sosial (dalam hal ini instagram) dengan sifatnya yang interaktif. Manusia, dengan representasinya, masuk dan beraktivitas di ruang yang menyimulasi dunia nyata, yang memungkinkan interaksi antarpengguna. Ruang tempat tindakan pengguna menjadi lebih penting dalam menyusun konstruksi gambar ketimbang produksi citra yang sudah selesai. Praktik merekam diri sendiri merupakan hal yang lumrah dalam bermedia sosial. Praktik slide/swipe dan tap ke kiri-kanan, bawah-atas merupakan gestur-gestur tindakan yang penting dalam menyusun gambar. Jadi, bermedia sosial dalam hal ini tidak hanya mengandalkan kepandaian menggunakan gawai dan aplikasinya, tapi juga mengandalkan gerak tubuh yang performatif. Maka replikasi dan distorsi pada video, ditambah dengan gerak melihat susunan gambar, akan membentuk konstruksi kenyataan baru pada ruang media sosial. Kenyataan yang berjalan paralel dengan kenyataan yang dihidupi oleh manusia dengan daging dan darah. Oleh sebab itu, alih-alih menggunakan kanal instagram hanya sebagai tempat ekshibisi, melalui edisi kali ini, 69 Performance Club berusaha untuk melakukan pemaknaan yang lain terhadap ruang media sosial tersebut dengan membongkar tubuh, kehadiran, serta lapisan-lapisan dan fragmentasi kenyataan lewat eksperimen dalam medium video, seni performans, dan media sosial sebagai suatu persoalan yang utuh; yang juga tentunya berhubungan dengan permasalahan sosial politik dan kebudayaan dalam masyarakat.
Kurator: Hafiz Rancajale
Asisten Kurator: Prashasti Wilujeng Putri
In its history, performance art emerges to re-conceptualize the definition of art, performance, and performativity. It emphasizes how and to what extent art is able to liberate an occurrence from its representation; and performatively challenge the existence of a difference between representation and artwork. Thus, performative art practices create an event rather than a product that can reproduce repetitiously. It does not create an object anymore; it creates a different context that keeps changing according to time and spatiality around it instead. The presence of the body creates an ever-changing occurrence according to its time and place. This body and occurrence are no longer representative; it is the presence itself instead. In this context, performance and performativity can be revolutionary, because these two might dismantle permanent aspects in society, such as ideas regarding common sense, authority, authorship, and justification.
On the contrary, representation is a necessity in video art. The body that is a presentation exists in video art as a body representation. There exists a play of mechanical and digital mechanisms of various technologies within it. Then, how does the situatedness in performance and representation art in video art come together? Unlike the prior arts, which aim to represent reality merely, camera technology can change our perspective of seeing reality. The camera changes what we see and our ways of seeing things. The video approach in performance art here (and it applies vice versa: the performative approach in video art) might be a self-critic to the technology of representation — technology that tends to perpetuate or legitimize ideas and assumptions of permanent aspects in society. Performance art always attempts to dismantle such permanent aspects. Mechanical and digital play in the video will replicate. It distorts by multiplying reality and its meaning. Through this method, it destroys the authentic and original meaning of reality. Thus, performance art and video art were born on the same basis: criticism toward the prior medium of art, which already gained its status quo, and also criticism toward the socio-political problems in society.
In this 20th edition, 69 Performance Club presents performance video works from participating artists presented via Instagram. Presentations of the artists’ video performance will use social media channel Instagram @69performanceclub. This platform was chosen not without reason. After about four months since the official announcement of the government that there were positive cases of COVID-19 in Indonesia, physical distancing remains the primary call to minimize the spread of the virus. When gathering in a public space is very much avoided, the concept of social media as public space becomes increasingly relevant. In this case, social media not only serves as a presentation space but also as an abstract concept. The space in which reality and memory that shape our understanding is made. As has been said before, the camera changes what we see and our ways of seeing things. Such a role grows more intensely when it encounters social media (in this case, Instagram) with its interactive nature. Humans, by their representation, enter and move in a space that simulates the real world, allowing the interaction between users. Space where the user’s acts in compiling the image construction become more important than the final image production. The practice of self-recording is common in social media. Slide/swipe and tap left-right, bottom-up practices are important gestures in composing images. Thus, using social media, in this case, does not only rely on the cleverness of using devices and their applications but also relies on performative gestures. So, the replication and distortion of the video, as well as the movement of seeing the construction of the images, will form a new reality construction in the social media space. The reality that runs parallel with the reality lived by humans in flesh and blood. Therefore, instead of using the Instagram channel only as an exhibition venue, through this edition, 69 Performance Club attempts to make other meanings of the social media space by dismantling the body, the presence, as well as layers and fragmentation of reality through experiments in the medium of video, performance art, and social media as the whole issue, which surely also relates to socio-political and cultural issues in society.
Curator: Hafiz Rancajale
Assistant Curator: Prashasti Wilujeng Putri