Irritiating Intimacy: Light and The Iron Sea adalah sebuah percobaan performatif yang bermula dari pencarian atas gagasan tentang keintiman yang pedih, berkabut, ganjil, dan asing, namun juga ada kelegaan, kehilangan dan elegi yang berada di antara nuansa ambang dan lamunan. Keintiman ini berangkat dari kisah tentang kakek Riyadh, yang berasal dari Aceh dan Nenek yang berasal dari Minangkabau. Kematian sang kakek mendorong Riyadh melakukan penelusuran ingatan yang hilang, terutama melalui album keluarga, migrasi sang kakek dari Langsa – Aceh, ke Bandung (Jawa Barat) di tahun 1955, dan hubungannya dengan sejumlah peristiwa sosial di Aceh di tahun tersebut yang tak bisa ia kenali. Hal ini kemudian membawa Riyadh menemukan fiksi dan nostalgia lain tentang kisah dan syair Hamzah Fansuri. Ia hidup mengembara di abad ke-15 dari Barus, ke Aceh, Siam, Yerusalem, Persia dan Mekah sebelum akhirnya dihilangkan oleh Sultan Iskandar dari Aceh karena keintimannya yang keras kepala pada Tuhan serta keyakinannya bahwa Tuhan sebenarnya hadir dalam objek-objek keseharian dan Ia memancarkan cahaya-Nya pada segala ciptaan-Nya di semesta.

 

Tegangan kedua fiksi ini kemudian dirangkai Riyadh menjadi puisi tentang migrasi manusia yang terjadi, baik dengan motif perdagangan maupun politik. Pola puisi ini mengambil bentuk rumusan empat baris sebagimana kerap diterpkan Hamzah Fansuri dalam syair-syairnya.

Irritiating Intimacy: Light and The Iron Sea is a performative experiment that begins with the search for ideas about painful, obscure, and strange intimacy, but there is also relief, loss, and elegance that exist between the nuances of threshold and reverie. This intimacy departs from the story of Riyadh’s grandfather, who came from Aceh and Grandma who came from Minangkabau. The death of the grandfather prompted Riyadh to search for lost memories, especially through a family album, the grandfather’s migration from Langsa – Aceh, to Bandung (West Java) in 1955, and his relationship with a number of social events in Aceh in that year which he could not recognize. This search led Riyadh to find other fiction and nostalgia about the story and poetry of Hamzah Fansuri. He lived wandering in the 15th century from Barus, to Aceh, Siam, Jerusalem, Persia, and Mecca before finally being executed by Sultan Iskandar from Aceh because of his stubborn intimacy with God and his belief that God is actually present in everyday objects and he emits His light on all His creations in the universe.

 

The tension of these two fictions is then arranged by Riyadh into poetry about human migration that occurs, both under trade and political motives. This poetry pattern takes the form of a four-line formulation as Hamzah Fansuri often implements in his poems.

IRRITATING INTIMACY: LIGHT AND THE IRON SEA

Tanggal/Date

15 February 2020

 

Lokasi/Location

galerikertas, studiohanafi, Depok, Jawa Barat

 

Seniman/Artist

Riyadhus Shalihin

Recent Posts

Start typing and press Enter to search