YANG PALING POKOK dari sebuah karya seni performans (performance art) ialah eksplorasinya terhadap tubuh sebagai medium. Secara umum, tubuh yang dimaksud adalah tubuh si penampil (performer) atau si seniman yang melakukan aksi seni performans. Bisa juga tubuh yang dijelajahi tidak terbatas hanya pada tubuh si penampil. Dalam beberapa kasus, ada seniman yang melibatkan tubuh orang lain sebagai elemen penting karyanya. Ada pula seniman yang bermaksud meluaskan penjelajahan tubuh ke ranah objek ataupun konsep sehingga tidak mengherankan jika ada karya seni performans yang menitikberatkan eksplorasinya pada benda-benda keseharian, teknologi, ataupun tidak menghadirkan tubuh sama sekali. Dengan kata lain, meskipun merupakan intisari dari sebuah karya seni performans, pemaknaan tubuh dapat beragam dan bergantung pada visi artistik si seniman yang melakukannya.
Mendaki (2016) karya Rachmadi a.k.a. Rambo merupakan salah satu contoh karya seni yang menekankan prinsip dasar seni performans. Di dalam karya ini, bagian dari tubuhnya, yaitu daki, adalah material utama untuk berbicara mengenai kondisi tubuhnya secara keseluruhan. Daki diperlakukan sebagai elemen signifikasi yang melaluinya kita bisa melihat apa yang terjadi pada tubuh. Tentu tidak setegas kata-kata dalam suatu model komunikasi yang umum kita lakukan, misalnya signifikasi dari tulisan dan lisan. Dalam konteks Mendaki, kemungkinan dari penggunaan daki untuk mengindikasikan gejala-gejala tertentu dari tubuh, atau untuk menandakan suatu narasi yang telah dialami tubuh, merupakan sebuah spekulasi artistik yang masuk akal, serta dapat diterima di dalam logika sistem representasi.
Mendaki dipresentasikan dalam perhelatan perdana 69 Performance Club pada tahun 2016 di Forum Lenteng, Jakarta. Acara perdana tersebut tidak terikat oleh tema kuratorial sehingga empat orang seniman yang berpartisipasi di dalamnya memiliki kebebasan untuk menerjemahkan praktik seni performans. Perlu dicatat, empat orang seniman tersebut (Rachmadi, Abi Rama, Hanif Alghifary, dan Muhammad Fauzan) pada waktu itu masih terbilang sangat baru di ranah seni performans. Bahkan, bisa dibilang, karya mereka saat itu merupakan karya seni performans pertama mereka. Karenanya, sungguh wajar jika akhirnya karya-karya yang mereka tampilkan mengangkat persoalan yang sangat sederhana dan benar-benar lekat pada diri masing-masing partisipan. Aktivitas sehari-hari menjadi fokus utama mereka. Rambo, dalam hal ini, merefleksikan kesehariannya yang lupa mandi.
Selain tubuhnya sendiri, Rambo juga menggunakan selembar kertas putih dan kamera CCTV yang terhubung langsung ke proyektor. Setelah membuka semua bajunya, kecuali celana dalam, Rambo duduk di sebuah bangku, di depan sebuah meja yang di atasnya diletakkan selembar kertas putih tersebut. Di samping kertas, proyektor menyala, menyorotkan sinar ke dinding layar. Dia menyulut rokok sebentar. Sekali waktu, ia mengusap keningnya—entah dengan maksud apa, gerakan itu seakan menunjukkan, secara teatrikal, situasi badan yang penat. Dia masih menghisap rokok beberapa kali, sampai akhirnya rokok itu diletakkan, dan dia mengambil alat kamera CCTV yang kecil itu dan mengarahkannya ke wajahnya sendiri. Dengan kamera itu, ia menjelajahi wajahnya, tak lupa ia membuka mulut, menjulurkan lidah, dan menyorotkan kamera itu ke dalam mulutnya. Penonton bisa melihat wajah Rambo dari dekat melalui layar yang menayangkan rekaman kamera CCTV secara langsung.
Kemudian, perlahan-lahan Rambo mulai menggosok-gosok bagian-bagian tubuhnya dengan tangan. Mulai dari wajah, bagian bawah telinga, leher, dada, perut, lengan, hingga kaki. Sembari menggosok, tangannya yang lain tetap menggenggam kamera CCTV, merekam detail aktivitas menggosok kulit badan itu dari dekat. Dari setiap bagian badan yang sudah digosok, tampak oleh penonton ada sesuatu yang terkumpul di tangan Rambo, yaitu daki, yang sedikit demi sedikit ia kumpulkan ke atas kertas putih. Hingga ke punggung kaki yang terakhir, setelah semua daki terkumpul, Rambo menghisap sebentar rokoknya, lalu berdiri dan menundukkan badan, tanda bahwa penampilannya selesai.
Secara garis besar, kita bisa menilai bahwa Mendaki adalah tentang persoalan jarak benda dengan tubuh. Yang pertama, tentu saja daki yang melekat di tubuh, yang oleh si seniman dilepaskan dari tempat asalnya untuk diletakkan ke sebuah bidang baru, yaitu selembar kertas putih. Yang kedua, ialah jarak kamera CCTV yang membidik detail-detail tubuh serta aktivitas tangan yang menguliti daki. Dalam waktu bersamaan, dengan aksi itu, Rambo menyajikan dua model signifikasi, yaitu signifikasi tubuh melalui daki, dan signifikasi tubuh melalui kamera CCTV.
Gumpalan-gumpalan daki di atas kertas merepresentasikan suatu peta tentang bobot narasi atau pengalaman yang dimiliki bagian-bagian tubuh Rambo. Setiap bagian tubuh menyimpan jejak pengalaman yang berbeda karena intensitas persentuhan masing-masing bagian tubuh itu dengan dunia di luarnya juga berbeda. Gumpalan daki yang beragam menjadi semacam “diagram” atau “objek statistik” untuk memetakan perbedaan tersebut. Tentu saja kita tidak akan mengetahui apa narasinya, tetapi bobot-bobot daki yang beragam adalah perwujudan dari “rekam jejak” aktivitas rutin Rambo. Alih-alih memaparkan narasi-narasi yang dimiliki tubuhnya sebagai konten, Rambo justru membingkai proses pengumpulan daki tersebut sebagai sebuah “peristiwa performatif”, yaitu dengan memainkan bobot visual melalui bidikan kamera CCTV, yang mana jarak dan arah bidikan tersebut pun ditentukan oleh irama alamiah dari gerakan tangannya yang menggosok kulit. Sebagai sebuah tindakan performatif, konten yang dituju oleh si seniman adalah “pergerakan bentuk (visual)” yang dihasilkan kamera CCTV itu. Dengan kata lain, “signifikasi statistik”—kalau boleh saya menyebutnya demikian—yang dihadirkan Rambo bukanlah informasi berbasis angka, melainkan sebuah pengalaman visual berbasis peristiwa langsung.
Penampilan Rambo dalam Mendaki ini terbilang sederhana dari segi artistik pertunjukannya, tetapi sangat esensial dalam mendemonstrasikan pengertian dasar karya seni performans. Proses serta hasil eksplorasi tubuh dikonstruksi menjadi suatu rangkaian bahasa, yang dipertegas dengan bantuan alat signifikasi lainnya, yaitu kertas dan kamera. Kedua alat tersebut berfungsi sebagai bingkai: sementara kertas adalah pembingkai tubuh dalam rangka modus penciptaan pesan yang berorientasi serebral dan persandian/kode (yaitu, “diagram daki” di atas kertas) untuk dibaca, kamera CCTV adalah pembingkai tubuh dalam rangka modus yang berorientasi visual-eksperensial (yaitu, citra di atas layar) untuk dilihat.
Secara metaforik, pengkonstruksian dalam performans itu pun, oleh si seniman, diibaratkan sebagai suatu pendakian makna dari apa yang menjejak pada tubuh. Dalam hal itu, layak diakui bahwa permainan kata “daki” menjadi “mendaki” sebagai judul karya merupakan sebuah pilihan subjektif yang cukup menarik. Selain menghadirkan nuansa “geologis” (tubuh diibaratkan seperti bagian bumi yang dijejaki), kata ini juga sekaligus menghadirkan “de-nominalisasi kata”, yaitu mengafiksasi kata benda (‘daki’) menjadi kata kerja (‘mendaki’). Permainan kata pada judul Mendaki, bagaimanapun, bisa kita lihat tetap merujuk pada kata dasarnya sehingga dapat diartikan sebagai ‘menciptakan peristiwa daki’—daki sebagai pokok peristiwa seni performans. *