SEPERTI DISIPLIN TARI, teater, dan seni-seni pertunjukan lainnya, kita bisa mengatakan bahwa yang menjadi kata kunci penting di dalam teknik seni performans adalah “olah raga”. Akan tetapi, jika kita mengacu pada dua prinsip seni performans, yaitu “tindakan si penampil” dan “peristiwa yang tercipta dari tindakannya itu”, kita dapat mengurai lebih rinci ciri khas “olah raga” dari seni performans dalam hubungannya dengan keberadaan “zona penampilan”. Tari, teater, dan seni pertunjukan mengenal istilah “panggung”, yaitu zona dengan batas tertentu yang membedakan—umumnya dalam jarak tertentu—antara area si penari/pemeran/pemain pertunjukan dengan area penonton (audiens). Bagi seni performans, keberadaan panggung yang terbatas justru menjadi persoalan penting sehingga niatan untuk menerabas batas-batas panggung itu sendiri juga sering menjadi tujuan dari tindakan si penampil dalam rangka menciptakan peristiwa performatif.
Forgetting You, 2016, Fauzan ‘Padang’ Chaniago. (Foto: Forum Lenteng)
Kita bisa menjadikan dua karya seni performans yang pernah dipresentasikan dalam rangka kuratorial Menelisik Tubuh, tanggal 9 Februari 2016, di ruang tengah kantor Forum Lenteng, Jakarta, sebagai contoh kasus untuk mendiskusikan topik ini. Kedua karya seni performans yang saya maksud adalah Forgetting You (2016) karya Muhammad Fauzan Chaniago a.k.a. Padang dan Mencari Celah (2016) karya Hanif Alghifary. Merefleksikan keduanya, kita akan bertemu dengan dua di antara banyak sifat seni performans yang, menurut saya, menegaskan kecenderungan disiplin seni ini dalam menghilangkan keterbatasan “panggung konvensional”.[1] Di sini, saya ingin mengatakan bahwa “olah raga” di ranah seni performans selalu bersifat mutable dan adaptable terhadap lingkungan tempat peristiwanya ditampilkan.
Dalam Forgetting You, Padang memimikri salah satu kebiasaan masyarakat di zaman media baru: memegang handphone hingga lupa waktu. Peniruan ini dilakukan dengan menunjukkan gerakan tangan dan jari—tapi tanpa memegang handphone—yang seakan mengetik layar device. Padang menundukkan wajahnya ke arah tangannya itu, memperagakan suatu figur yang menyuntuki gawai. Sembari tetap melakukan gerakan kecil tersebut dengan begitu intens, Padang berjalan-jalan mengitari ruang tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari jari tangannya. Karenanya, tubuh yang menyuntuki gawai tersebut berjalan-jalan dengan arah yang acak, tidak sekali menabrak benda-benda di dalam ruangan. Semakin suntuk, tubuh Padang bahkan mulai merebahkan diri di atas meja, memberantakkan benda-benda di atasnya, lalu terus bergerak berpindah ke bawah meja, tubuhnya melata di lantai, kepalanya menabrak kaki bangku. Dia kemudian merayap, menyentuh dinding, dan bahkan masih dengan posisi tubuh yang menelentang, dia mendaki anak tangga dengan punggung berada di bawah. Semakin ngaco, tubuhnya bergeliat menjelajahi segala sudut ruangan, hingga tak sungkan menceburkan badannya ke dalam kolam ikan. Tak lama setelah itu, penampilannya pun selesai. Ketika ia melakukan aksinya, para penonton yang memenuhi ruangan tersebut menyaksikan tindakan Padang sembari berpindah-pindah tempat karena cukup sering Padang mengganggu titik-titik di mana masing-masing penonton berdiri atau duduk. Efeknya, hiruk-pikuk suasana menjadi lebih dinamis.
Sementara itu, dalam Mencari Celah, Hanif berhadap-hadapan dengan objek yang relatif lebih besar dan lebih berat ukuran dan bobotnya dari tubuhnya sendiri. Hanif berinteraksi dengan sebuah meja besar (meja yang ada di ruang tengah kantor Forum Lenteng). Ia mendorong-dorong meja itu ke berbagai posisi, hingga ke sudut ruangan, tanpa menggunakan tangan dan hanya mengandalkan badannya. Ketika meja itu memepet ke dinding, Hanif (masih dengan badannya saja) berusaha menggeser posisi meja dan membuka celah bagi dirinya untuk menelusuri zona gerak tubuhnya sambil tetap menempelkan badan ke tepi meja. Hal itu ia lakukan berulang-ulang, seolah-olah sedang memahami konstruksi meja dan berbagai kemungkinannya. Tidak ada satu pun penonton di sekitar kejadian interaktif antara Hanif dan meja tersebut. Meskipun tidak ada aturan tertulis yang menyatakan bahwa penonton tidak boleh mendekat, “aksi berat” yang dilakukan Hanif secara otomatis memengaruhi psikologis penonton untuk mengambil jarak sehingga area ruangan tempat Hanif bergulat dengan objek berkaki empat itu seketika menjadi “panggung”.
Kedua karya ini menekankan daya tahan (endurance) dalam kaitannya untuk menguji limitasi tubuh: sejauh apa raga dapat diolah dan ditelisik untuk melihat kemungkinan komunikatif; potensi dalam menciptakan atau membingkai peristiwa; serta mengungkai suatu pernyataan artistik yang bersifat visual dan bebunyian. Tak berhenti di situ, karya mereka juga mengejar limitasi tubuh dalam rangka memprovokasi kasadaran tubuh audiens. Kerangka teknis ini menjadi menarik jika kita mengingat bahwa ruangan yang menjadi lingkungan tempat ditampilkannya kedua karya seni performans tersebut merupakan ruangan keseharian, bukan ruang khusus yang diperuntukkan sebagai arena pertunjukan. Kedudukan ruang keseharian yang diintervensi oleh suatu tindakan seni, pada dasarnya, bekerja secara intim sekaligus misterius. Apa yang merupakan sehari-hari bisa berbicara lebih lantang dibandingkan “zona asing” yang “suci”, bagaikan—meminjam istilah Walter Benjamin—sidik jari di halaman buku yang berbicara lebih banyak daripada teks-teks yang memenuhi setiap lembar halaman.
“Zona penampilan”, jika diartikan, bisa menjadi ambigu, terutama kalau kita berfokus pada karya seni performans yang bersifat langsung (tanpa perantara perangkat semacam teknologi fotografi ataupun film/video). Pada satu sisi, “zona penampilan” (yaitu, area ruangan tempat si penampil melakukan aksinya) merupakan “ruang presentasi”, dalam kedudukannya sebagai peristiwa aktual, yang terjadi di situ dan di saat itu sekaligus. Seni performans adalah perihal “kesekarangan”. Tapi, pada sisi yang lain, “zona penampilan” ini sebenarnya juga “ruang representasi” karena peristiwa yang sedang berlangsung dikonstruksi oleh si seniman menjadi suatu ranah yang berbeda sama sekali dari ranah tempat berlangsungnya kejadian aktual. Bagaimana pun, aktivitas sehari-hari kita berada di luar “ruang lingkup aural” si penampil. Hal itu sama persis dengan perbedaan antara “realitas di dalam bingkai lukisan” dan “realitas objektif di luar bingkai lukisan”, misalnya. Karena peristiwa di dalam seni performans sengaja dibingkai sebagai peristiwa artistik, ruangannya menjadi “ruang representasi” karena kodratnya kemudian menyiratkan suatu makna yang terbuka untuk diterjemahkan oleh audiens secara bebas. Di sini kita menyadari bahwa ada ketidakterpisahan antara yang “presentatif” dan “representatif”. Sebagaimana diktum “medium adalah pesan”, seni performans menyajikan “tindakan dan peristiwa yang tercipta dari tindakan itu sebagai pesan”.
Mencari Celah, 2016, Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng)
Forgetting You dan Mencari Celah mencontohkan sifat mutable dan adaptable dari teknik “olah raga” yang ada pada seni performans. Olah raga dari seni performans disebut mutable karena selalu berubah-ubah dan tidak terikat oleh aturan baku. Tapi kita memang perlu mengingat bahwa, dalam beberapa kasus, ada karya seni performans yang sengaja menggunakan pendekatan teater dan tari sehingga sikap dan gestur dari tindakannya telah ditentukan—mengacu kepada aturan tertentu. Namun, umumnya dalam penampilan-penampilan seni performans jenis ini pun, “kegagalan” dalam mematuhi aturan, atau kejadian-kejadian di luar prediksi aturan yang sudah ditetapkan, sering kali terjadi dan tidak bisa dihindarkan. Akan tetapi, kebocoran-kebocoran tak terduga ini merupakan bagian dari peristiwa seni performans dan secara alamiah menjadi aspek kebenaran yang khas, dan inilah yang dapat dikatakan sebagai faktor yang membedakan ranahnya dari tari dan teater. Tari dan Teater barangkali mengagungkan kesempurnaan, sedangkan Seni Performans memungkinkan kecacatan tampilan sebagai realitas sejati dari peristiwa artistiknya. Oleh karena itu, “mutabilitas” raga dari si penampil merupakan teknik utama seni performans karena memiliki potensi yang bukan hanya memungkinkan suatu improvisasi (sebagaimana Tari dan Teater, juga Musik, kerap melakukannya), tetapi juga membuka kemungkinan untuk bisa beradaptasi terhadap ruang yang, tidak jarang, mempunyai kompleksitas tertentu di luar jangkuan atau ketetapan yang dimiliki si seniman di dalam konteks karyanya.
“Adaptabilitas” raga dari si penampil karya seni performans, dengan demikian, ada sebagai sifat kedua yang tak terpisahkan dari sifat yang pertama. Yang menarik, adaptabilitas ini juga memiliki hubungan yang erat dengan kedudukan ruang yang tidak tetap. Adaptabilitas raga menyebabkan ruang presentasi/representasi menjadi adaptif, dalam artian bahwa, “ruang adaptif” tersebut tercipta karena secara alamiah mengikuti alur “olah raga” dari aksi seni performans yang memprovokasi ruang, orang, dan objek di luarnya. Audiens yang menghadiri atau menempati ruang pun mau tak mau menjadi peka akan posisinya, dan sebagai bagian dari perubahan yang dialami ruang, tubuh-tubuh mereka juga mencari penyesuaiannya sendiri. Di sini, negosiasi antara si seniman (penampil) dan audiens berlangsung tarik-menarik dalam hal peran mereka masing-masing sebagai “penampil”, “penonton”, “penampil yang melibatkan penonton”, dan “penonton yang mengizinkan dirinya untuk terlibat ke dalam tontonan” selama peristiwa artistik berlangsung.
Seperti yang dapat dipahami dari Forgetting You dan Mencari Celah: tindakan si penampil mengubah sifat dan kedudukan awal dari area tontonan tempat audiens berada. Sementara Forgetting You menyasar hiruk-pikuk penonton dengan mengganggu titik-titik diam penonton sehingga isi di dalam ruang menjadi dinamis dan terus-menerus bergerak, Mencari Celah secara psikologis membekukan ruang keseharian sehingga muncul kesepakatan di kepala penonton untuk memilih posisi yang berjarak dari peristiwa. Dalam konteks ini, karya seni performans bisa dibilang “menggerakkan” audiensnya; mentransformasi keadaan awal audiens menjadi keadaan yang lebih baru, bukan hanya dari segi pencerapan sensoris, tetapi juga aspek gestural yang konkret.
Perlu diingat bahwa, dalam acara penampilan Padang dan Hanif, ruang yang menjadi tempat ditampilkannya karya mereka adalah sama. Akan tetapi, visi dari masing-masing karya yang berbeda, antara Forgetting You dan Mencari Celah, mengubah kedudukan, fungsi, nilai, dan sifat dari ruang yang sama tersebut demi kepentingannya sebagai elemen dari masing-masing karya seni performans. Forgetting You meminimalisir batas antara si penampil dan audiens sehingga gerak aktual penonton menyaru menjadi bagian dari peristiwa performatif, sedangkan Mencari Celah justru menegaskan batas itu sehingga tampak jelaslah perbedaan antara “zona representasi” yang ditonton audiens dan “zona aktual” tempat audiens menonton peristiwa performatif.
Akhir kata, kita dapat menyimpulkan bahwa “zona adaptif” dari sebuah karya seni performans adalah suatu tuntutan tak terbilang/terucap/tertuliskan, yang mana kedudukan, fungsi, nilai, dan sifatnya untuk dapat berubah (walau hanya sedikit) seiring waktu mengikuti alur peristiwa performatif tersebut, mau tak mau, merupakan sebuah keniscayaan agar dapat terus eksis sebagai lingkungan yang di dalamnya peristiwa dari seni performans dapat tetap berlaku. Dengan kata lain, “olah raga” dari seni performans yang bersifat mutable dan adaptable ini tidak akan pernah terpisahkan dari kemungkinan ruang tampilannya yang juga adaptif. Konstruksi yang tidak tetap ini, pada akhirnya, menentukan transformasi macam apa yang akan dialami audiens dari segi proses mental dan gesturalnya. *
[1] Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa disiplin Tari, Teater, dan seni-seni pertunjukan (performing arts) lainnya juga sudah berkembang sedemikian rupa—dalam derajat tertentu agaknya dipengaruhi oleh perkembangan seni performans (performance art)—sehingga pengertian lazim dari panggung ini pun juga menjadi perhatian disiplin-disiplin tersebut. Tidak mengherankan, misalnya, jika kita pernah melihat ada kesenian tari ataupun teater yang mendobrak keterbatasan panggung, dan memungkinkan keterlibatan yang lebih jauh dari audiens. Namun, pembahasan mengenai hal ini merupakan topik yang lebih luas dan tidak akan dibahas di dalam esai ini.