SEBAGAI BENTUK SENI yang berhubungan erat dengan bagaimana tubuh ber-relasi dengan realitas kesehariannya, seni performans kerap membingkai dinamika materialitas. Materialitas tubuh, benda, pemandangan kota, bahkan bingkai layar dialami secara berbeda saat perubahan terjadi dari waktu ke waktu dalam konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kehidupan sosial kita dan kehidupan sehari-hari kita dengan objek di sekitar kita bergeser, karena persepsi kita tentang dunia juga terus mengalami perubahan. Pengalaman berjibaku dengan objek sehari-hari pun akan menjembatani hubungan dialektis mengenai persepsi kita tentang dunia, kehidupan sosial, dan objek di sekitar kita. Untuk itu, materialitas sebagai relasi antara manusia dan objek di sekitarnya selalu menjadi subjek dinamis yang terus dikaji ulang; salah satunya melalui seni performans. Performans karya Tan Wei Chen, Jason Lee, dan Pingkan Polla agaknya cukup memberi indikasi tentang sebuah upaya refleksi akan pengalaman berurusan dengan objek di sekitar tubuh manusia. Performans ini pertama kali dipresentasikan pada tanggal 5 Maret 2021, sebagai bagian dari proyek Performance at Distance di situs web R3: SCAPE-CITY. Ia merupakan bagian dari Responding: International Performance Art Festival and Meeting yang mencoba menjawab isu-isu terkini yang terjadi di masyarakat. Di tengah pandemi yang terus terjadi dan menghambat mobilitas, praktik seni performans juga menghadapi tantangan. Proyek ini kemudian hendak mencari kemungkinan seni performans sebagai lokus eksperimen bagi komunikasi performatif baru melalui media daring. Dalam performans Tan Wei Chen, Jason Lee, dan Pingkan Polla, terdapat dua cara tubuh ber-relasi dengan objek, yaitu melalui pengukuran dan pergerakan.
Dalam performans berjudul Daily Measurement: Color karya Tan Wei Chen, kita melihat sebuah punggung telanjang berdiri di dalam bingkai. Seorang wanita datang dan mulai menulis di punggung tersebut dengan menggunakan tinta hitam. Kata ‘love’ berulang kali muncul saat si perempuan pun terus menuliskannya. Tindakan menulis yang berulang-ulang akhirnya menghancurkan bentuk kata dan hanya menyisakan warna. Alih-alih menekankan kehadiran kata tersebut, penulisan kata ‘love’ yang berulang-ulang justru menghapus bentuknya, hingga seolah maknanya terbenam dalam ketidakberbentukan tinta hitam pada tubuh. Jejak warna tinta tersebut kemudian menjadi jejak imajinatif dari tindakan menulis yang dilakukan sebelumnya.
Dalam performans lainnya karya Tan Wei Chen yang berjudul Daily Measurement: Weight, kita melihat dua tubuh duduk di atas sofa. Dua timbangan mengukur masing-masing tubuh: satu pria dan satu wanita. Dalam sekuens gamabr berikutnya, kita melihat kedua tubuh itu menghilang, dan benda-benda bermunculan saling bertumpuk. Beberapa benda yang kerap muncul di keseharian – seperti buah-buahan dalam keranjang dan kantong plastik, tas, botol minuman keras, topi fedora, buku, bantal, dan selotip – tampak seperti patung yang menggantikan keberadaan tubuh manusia sebelumnya. Akhirnya, tubuh si perempuan muncul dan menegaskan tubuh mana yang digantikan oleh benda-benda itu. Benda-benda tersebut seakan mewakili seseorang. Kita dapat berspekulasi bahwa benda-benda itu milik si lelaki, dan benda-benda ini memiliki ‘berat’ yang signifikan saat ia membawa serta corak kepribadian orang yang diwakilinya. Aksi mengukur dan menumpuk benda ibarat mengonstruksi sebuah patung dari benda-benda yang dapat menggantikan seseorang bila ‘berat’ benda dan orang yang diwakilinya sama, baik dalam arti berat fisik tubuh maupun berat kepribadian yang dicerminkan oleh makna benda-benda milik si orang tersebut.
Mengukur artinya membuat perbandingan dengan menggunakan skala tertentu. Dalam karya Daily Measurement: Color, tinta hitam menjadi medium yang mengukur jejak tindak menulis yang berulang. Sedangkan dalam Daily Measurement: Weight, patung yang dibuat dari benda-benda yang menggantikan tubuh manusia memunculkan ide tentang upaya mengukur atau membuat perbandingan antar seseorang dan objek-objek yang memiliki kemampuan untuk merepresentasikan bobot kepribadian orang tersebut. Dua cara pengukuran Tan Wei Chen, dengan menggunakan warna dan berat, juga mengindikasikan deformasi. Yakni deformasi yang lahir dari ketidakberbentukan pada kata-kata yang tertulis dan pada tubuh di mana kata-kata itu ditulis. Serta deformasi yang terjadi saat patung benda-benda keseharian tersebut menggantikan kehadiran tubuh manusia. Dalam hal ini, baik ketiadaan bentuk maupun deformasi tidak selalu mengacu pada dekonstruksi. Lebih jauh lagi, keduanya justru dapat memantik wacana tentang cara objek membangun imajinasi tertentu yang memungkinkan terjadinya perbandingan.
Dalam karya Jason Lee bertajuk Island-Life 3: Water Exercise, deformasi juga terjadi saat tubuh seniman menerima objek tambahan yang signifikan secara visual. Merupakan bagian dari rangkaian performans berjudul Island-Life, karya ini berangkat dari upaya Jason Lee yang merespons pengalaman hidupnya di Taiwan. Saat performans dimulai, kita melihat pemandangan kota di belakang si seniman: bangunan, jembatan, sungai, dan tepi sungai. Si seniman bersepeda dan membawa sebuah ember merah. Di sekelilingnya, orang-orang berjalan-jalan dan berolahraga. Seniman tersebut mengisi kantong plastik yang ia bawa dengan air dan menempelkannya ke tubuhnya layaknya pemberat saat olahraga, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tubuhnya membengkak secara transparan. Dalam keadaan tersebut, si seniman memulai berolah raga dengan melakukan gerakan jumping jack. Saat tubuh si seniman terus bergerak dengan kantong air di tubuhnya, tubuh orang lain juga terus bergerak di sekitarnya dan di sekitar lanskap air di belakangnya. Di sini, kita bisa merefleksikan bagaimana air dapat membentuk lanskap tubuh manusia dan lanskap tubuh kota. Olahraga yang si seniman lakukan menjadi aksi yang menghadirkan imajinasi tentang potensi air sebagai objek pembentuk lanskap tubuh manusia. Bersamaan dengan itu, ketika kita merefleksikan hubungan antara lanskap air dan lanskap kota, seringkali hal itu melibatkan kemampuan air untuk membentuk pergerakan manusia di lanskap kota. Komposisi objek kota mengikuti bentuk aliran sungai sehingga pergerakan manusia juga mengikuti bentuk tersebut.
Dalam video performans karya Pingkan Polla, JUMP CUT WORK IN PROGRESS, gerakan menjadi elemen yang membantu tubuh manusia menilai kembali materialitas bingkai layar. Pertama, tubuh hanya muncul dalam bentuk tangan yang berulang kali mengusap sebuah cermin buram. Cermin ini menjadi permukaan layar yang dilihat penonton. Setiap kali cermin diusap pada kali ke-sekian, gambar berganti dengan melompat ke bingkai yang lain. Pada awalnya, lompatan hanya terjadi pada bingkai yang merekam lokasi di wilayah geografis yang sama, sebagaimana ditunjukkan oleh latar audio. Saat video berlanjut, lompatan yang terjadi pun merujuk pada area geografis yang berbeda tumpukan salju terlihat bersamaan dengan munculnya wajah si seniman usai aksi menyeka cermin atau layar.
Ide tentang jump cut berkaitan erat dengan upaya memanipulasi ruang temporal dengan memecah durasi satu ambilan gambar menjadi fragmen. Hal ini memungkinkan si seniman untuk memampatkan pengalaman perjalanan atau perpindahan spasial-temporal dengan memotong rekaman dan melompatkannya ke rekaman yang sama sekali berbeda. Praktik ini sebetulnya kini lebih signifikan digunakan di platform media sosial seperti TikTok. Dalam platform tersebut, pengguna dapat membuat video jump cut dengan mudah melalui fitur-fitur tertentu yang sudah disediakan di dalam aplikasi. Serupa dengan praktik di TikTok itu, kita bisa melihat pergeseran tubuh seniman secara geografis dan koreografis di dalam bingkai pada video performans karya Pingkan Polla. Tubuh membangun relasi dengan bingkai melalui aksi perpindahan, yang terjadi dalam dua cara: posisi tubuh di dalam bingkai dan posisi tubuh secara geografis.
Kini, di dunia yang seakan makin tak selalu material, jarak memaksa kita untuk terhubung dengan satu sama lain melalui dunia yang lebih tersimulasi. Saat ini kita menyaksikan seni performans tidak hanya dalam arti secara jasmaniah, tetapi lebih sering justru dalam bentuk tubuh yang termediasi digital, sebagaimana saya menyaksikan keempat performans di atas. Akan tetapi, pembahasan tentang materialitas tubuh seringkali masih hanya berkisar pada tubuh yang bersifat daging, daripada tubuh yang termediasi. Untuk menjawab persoalan ini, muncul pertanyaan tentang materialitas seni performans itu sendiri. Tentu saja hal ini akan membutuhkan refleksi lain lebih lanjut.
Jakarta, 2021.