In Feature

Dalam seni performans (performance art), persoalan tubuh merupakan aspek utama dan pertama yang perlu dituntaskan oleh seorang seniman. Tubuh dalam sebuah seni performans merupakan sebuah objek yang memiliki daya politis akibat potensi kemampuannya sebagai bahasa, pernyataan dan penghantar pesan. Dalam keseharian, tubuh bergerak secara fungsional, sedangkan dalam seni pertunjukan (performing art), tubuh seringkali hanya menjadi mimesis akan kenyataan. Pada seni performans, tubuh harus dicairkan hingga menjadi konsepsi yang masih dapat dilihat sebagai bentuk.

Melalui tulisan ini, saya mencoba membahas persoalan tubuh dalam sembilan performans yang berlangsung pada seri performans #14 berjudul FRAMED BODY, diadakan pada hari Senin, 22 April 2019 di Forum Lenteng. Dalam seri ini, sembilan seniman performans 69 Performance Club, yaitu Manshur Zikri, Dhanurendra Pandji, Maria Silalahi, Taufiqurrahman, Pingkan Polla, Syahrullah, Theo Nugraha, Maria Deandra dan Prashasti Wilujeng Putri secara berurutan mencoba mensublimasikan tubuhnya melalui interaksinya dengan objek tertentu, serta bagaimana kemudian relasi terbangun dari interaksi tersebut. Aksi yang dilakukan oleh tubuh tersebut kemudian membangun pernyataan, ide, maupun pesan di kepala audiens. Merespons kuratorial Hafiz Rancajale tentang pembingkaian tubuh, tiap-tiap performans yang hadir pun mencoba menyampaikan persoalan tubuh, objek diam, dan ruang dengan berbagai pendekatan sublimasi yang berbeda. Tercatat dari kesembilan karya tersebut, sublimasi tubuh setidaknya berlangsung melalui warna, garis, bunyi, dan intensitas ketahanan tubuh (endurance). Tentunya kategori pendekatan ini pun tidak membatasi kemungkinan pembacaan terhadap karya-karya tersebut, sebab selalu ada kemungkinan kelengkapan pendekatan yang berlapis-lapis dalam sebuah performans. Catatan ini diniatkan untuk setidaknya mengkategorikan dari lapisan terluar sebagai impresi yang ditangkap mata.

Gone By The Feet, 2019, Maria Christina Silalahi (Foto: Forum Lenteng)

Sublimasi dengan Warna

Pada karya-karya yang melakukan aksi sublimasi melalui warna, tubuh berubah menjadi sebuah objek visual saat ia dilekatkan pada warna-warna tertentu. Pada karya Gone By The Feet oleh Maria Silalahi, tubuh dideformasinya menggunakan pakaian hitam seluruh dan sebuah objek bulat warna merah yang diperlakukan seakan menjadi bagian kepalanya. Tubuh manusianya bergerak membungkuk, merunduk, merapat sedekat mungkin pada dinding – menciptkan impresi sebuah tubuh ganjil yang hanya terdiri dari kontras warna hitam dan merah. Dalam tempo yang begitu pelan, tubuh ganjil ini mengelilingi ruangan dan memantik pertanyaan akan persepsi manusia terhadap bentuk dan warna.

Pada karya Syahrullah yang berjudul AMBER, tubuhnya dihilangkan dengan cara dibungkus penuh oleh sebuah kaos berwarna kuning. Ia bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya dalam ruang performans, menyituasikan diri di antara objek-objek keseharian ruangan dengan mentransformasikan tubuhnya menjadi sebuah patung berwarna amber atau warna kuning sawo. Penjelajahan tubuh amber-nya dalam ruang performans berakhir dengan menyisakan si kaos warna kuning sawo terkulai di lantai.

AMBER, 2019, Syahrullah (Foto: Forum Lenteng)

Aksi menghilangkan tubuh ke dalam warna pun dilakukan pada karya Prashasti Wilujeng Putri yang berjudul Drapery. Pada karya ini, Prashasti menghilangkan tubuhnya ke dalam selembar kain hitam besar. Bergerak dari posisi tiarap hingga tegak berdiri, Prashasti membangun imajinasi tentang patung-patung dalam sketsa Da Vinci melalui jatuhnya kain hitam pada lekuk dan bangunan pose tubuhnya yang berada di bawah kain.

Kontras antara warna yang membalut penuh tubuh dan ruang maupun objek-objek yang ada di sekitar tubuh telah memungkinkan warna-warna tersebut menjadi performatif seiring dengan imajinasi pelihatnya yang terpantik. Tubuh manusia tidak lagi sekedar menjadi tubuh yang keseharian, namun ia telah mengalami transformasi menjadi tubuh yang punya esensi rupa. Hal ini kemudian didukung pula oleh aksi-aksi tubuh yang melakukan pose-pose selama menyituasikan dirinya di dalam ruang performans. Pada karya Gone By The Feet, tubuh Maria menjadi tubuh yang ganjil dan mutatif yang mengintervensi ruangan dengan cara terus bergerak mengikuti garis keliling ruangan dan objek yang dilewatinya saat bergerak. Sedangkan pada karya AMBER dan Drapery, kontras warna dengan ruangan semacam memberikan daya bagi pose-pose yang dilakukan si seniman sehingga tubuhnya dapat terimajinasikan menjadi sebuah objek rupa tiga dimensi – patung. Objek-objek yang digunakan para seniman untuk menyublimasikan diri mereka menggunakan warna disituasikan sedemikian rupa untuk mendeformasikan hakikat bentuk tubuh manusia dan menjadikannya sebagai sebuah objek visual.

Mensublimasi dengan Garis

Beberapa karya yang hadir dalam seri FRAMED BODY mensublimasikan tubuh menggunakan garis sebagai cara merespon ruang, baik dengan menggunakan objek tambahan maupun tidak. Transformasi tubuh menjadi objek visual dilakukan melalui deformasi tubuh maupun upaya menggantikan tubuh dengan garis.

Pada karya INSTALLING MY BODY, Taufiqurrahman membuat garis menggunakan lakban hitam dengan ukuran yang dibuat dari panjang anggota tubuhnya yang diletakkan pada bidang yang hendak digambari garis. Secara bergantian, ia menggunakan lengan, kaki dan torsonya menjadi penggaris organik yang menentukan ukuran panjang si lakban hitam. Bersamaan dengan tubuh si seniman, garis-garis tersebut mengokupasi seluruh ruang performans. Ketika performans berakhir, ia menjadi jejak kehadiran si seniman sekaligus menjadi representasi tubuhnya.

Berbeda dari Taufik yang menggantikan tubuhnya dengan garis, Manshur Zikri dan Pingkan Polla pada karya masing-masing mendayagunakan garis sebagai sebuah elemen visual untuk mendeformasi tubuh. Pada karya Formasi L, Manshur Zikri menyituasikan tubuhnya sedemikian rupa untuk merespons interior ruang performans dengan membentuk formasi huruf L. Tubuhnya ditekuk dengan kaki terjulur lurus membentuk sudut siku-siku terhadap tubuh bagian atasnya. Aksi ini ia lakukan berulang kali dengan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya di dalam ruang performans. Objek-objek seperti pintu, meja, maupun dinding penyekat, dijadikannya sebagai pijakan bagi tubuh untuk membentuk formasi tersebut. Pada formasi pamungkasnya di antara daun pintu dan kusen pintu, ia menekuk tubuh membentuk sudut siku-siku, tetapi kali itu hanya juluran lurus kakinya saja yang terlihat. Meski demikian, dapat diketahui bahwa formasi yang ia lakukan ialah untuk membentuk huruf L. Aksi repetitifnya telah membentuk imajinasi di kepala penonton sehingga garis parsial yang terlihat pada akhir performans telah dapat disimpulkan pula sebagai sebuah formasi huruf L. Tubuh Zikri pun terpiuh menjadi sebuah objek visual berupa garis-garis yang membentuk huruf L.

FORMASI L, 2019, Manshur Zikri (Foto: Forum Lenteng)

Metode deformasi menggunakan garis pun muncul pada karya UNTITLED oleh Pingkan Polla. Pada karya ini, Pingkan membuat sebuah garis yang melintasi ruang performans dengan menggunakan seutas tali tambang panjang berwarna hitam. Garis itu ditariknya dari sebuah titik tinggi dalam ruangan dan dihubungkan dengan tubuh si seniman dengan cara dililitkan pada wajah. Tali tambang hitam tersebut pun berbaur dengan helaian rambut, seakan menjadikannya sebagai ekstensi tubuh si seniman, selagi turut pula menghancurkan bentuk wajahnya. Garis itu ditariknya berkali-kali ke sejumlah titik di dalam ruang performans sehingga memungkinkan deformasi rupa pun terjadi berkali-kali.

UNTITLED, 2019, Pingkan Polla (Foto: Forum Lenteng)

Berbeda dengan warna yang merupakan aspek eksternal dari tubuh, garis merupakan aspek yang secara bawaan juga dapat dihasilkan langsung oleh tubuh. Tubuh yang diposisikan menjadi objek visual berupa garis dengan sendirinya telah melakukan deformasi meski tanpa bantuan objek eksternal. Pada performans Formasi L, ruang dan objek eksternal direspons oleh tubuh yang membentuk garis. Sedangkan pada karya INSTALLING MY BODY dan UNTITLED (karya Pingkan), objek eksternal digunakan sebagai pengganti maupun perpanjangan dari tubuh dalam wujud garis yang merespons ruang. Repetisi dalam membentuk garis yang meruang memungkinkan sinergi antara garis, tubuh, dan ruang hadir di imajinasi penonton sebagai sebuah gejala visual – desain, pada khususnya. Sebagai salah satu komponen paling dasar dari visual, garis dapat memainkan peran yang signifikan dalam membangun, mengganggu, ataupun menghancurkan sebuah desain. Sublimasi tubuh melalui garis menemukan titik performativitasnya saat ia mampu mendorong konsep garis tak hanya sebagai desain tubuh manusia tetapi juga kaitannya dengan desain ruang.

Mensublimasi dengan Bunyi dan Ujian Ketahanan Tubuh

Selain sublimasi dengan aspek-aspek visual, tubuh juga dapat disublimasi menggunakan aspek bunyi dan ketahanan tubuh. Pada karya UNTITLED, Maria Deandra melakukan eksplorasi gerak dan intensitas tubuhnya. Dalam performans tersebut, ia memutar diri seperti gasing dengan satu tangan menjepit hidung sebagai sebuah cara untuk mengacaukan sistem koordinasi dan keseimbangan tubuh. Ia kemudian mengambil sebuah buku berwarna kuning yang tergeletak di sampingnya. Buku itu ia taruh di atas kepala sembari ia mencoba berjalan lurus untuk mencapai titik terluar dari ruang performans. Aksi tersebut diulanginya setiap kali ia gagal mengontrol respons tubuh terhadap efek putaran yang memusingkan.

UNTITLED, 2019, Maria Deandra (Foto: Forum Lenteng)

Dhanurendra Pandji pada karya The Worshipper mendorong eksplorasi ketahanan tubuh secara lebih jauh dengan menyentuh aspek bunyi. Pada performans ini, tubuh Pandji merangkak mengelilingi ruang performans dengan menyeret sebuah botol minuman dari tradisi Epikurean, yakni Vodka, menggunakan mulutnya. Aksi menyeret warisan Epikurean berkeliling ruangan dengan pantat botol yang menggesek lantai menghasilkan bunyi denging pelan yang mengisi ruangan. Aksi yang ia lakukan sebanyak tiga kali putaran dengan bertelanjang dada ini pun menguji ketahanan tubuhnya untuk bergerak mengelilingi ruangan di luar gerak dan pose tubuh kesehariannya.

WORSHIPPER, 2019, Dhanurendra Pandji (Foto: Forum Lenteng)

Pendekatan lewat bunyi dan intensitas ketahanan tubuh semacam ini dilakukan pula oleh Theo Nugraha pada karyanya yang berjudul PLAGUE. Dalam performans tersebut, si seniman secara bertahap melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya sambil menampar-nampar sekujur tubuh, mulai dari kaki, lengan, torso hingga wajahnya. Perpindahan titik-titik tamparan ini ia lakukan seiring dengan tubuhnya yang berpindah posisi menjelajahi ruangan bersamaan dengan jejak-jejak bekas tamparan yang semakin banyak hingga merubah warna kulitnya. Pada posisi pamungkas, si seniman menghilangkan tubuhnya dari jangkauan pandang penonton dan menghadirkan hanya bunyi-bunyi tamparan ke tubuh. Visual kulit yang kian merah setiap selesai ditampar pun tertanam di benak penonton saat aksi dan bunyi tersebut telah dilakukan secara repetitif untuk membangun sekuens bunyi yang imajinatif.

Sublimasi tubuh pada ketiga karya ini berlangsung dengan meletakkan tubuh sebagai sebuah kemungkinan. Tubuh yang sehari-hari saat memasuki ruang representasi segera beralih menjadi abstraksi bagi ide tertentu. Pada karya Maria Deandra, fungsi kontrol dan koordinasi tubuh diujinya dengan gerak yang di luar kebiasaan sehari-hari. Pada karya Dhanurendra Pandji, tubuh digerakkan di luar kebiasaan sehari-hari sembari memproduksi bunyi dari objek temuan yang dilibatkan dalam performans.  Diniatkan untuk memantik imajinasi tentang pemujaan, sebagaimana tertera pada judulnya, intensitas bunyi dan gerak tubuh didorong untuk mengekplorasi aspek material dari objek-objek yang memungkinkan bunyi itu muncul; ruang, botol, dan tubuh yang merangkak. Nyaris serupa, pada karya PLAGUE, intensitas aksi menampar tubuh yang menghasilkan bunyi dirangkai menjadi sekuens hingga mampu membangun imajinasi visual di kepala penonton. Pada situasi demikian, tubuh tak lagi hanya menjadi sebuah objek visual tetapi juga menjadi instrumen penghasil bunyi yang organik.***

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search