PERKENALAN PERTAMA SAYA dengan seni performans dilalui bersama kelompok studi 69 Performance club. Di sana kami mempelajari karya-karya seni performans dunia sebagai pengetahuan dasar mengenai seni performans. Pengetahuan saya dipertajam dengan mengikuti kelompok studi filem melalui pendekatan senirupa di Milisifilem Collective. Kami mempelajari senirupa dari yang paling dasar: menggaris, membuat bidang, nirmana, dari hitam putih sampai penggunaan warna menggunakan medium kelir. Dalam kelas senirupa ini kami juga mempertajam pengetahuan kami dengan mempelajari perkembangan sejarah senirupa serta kegiatan diskusi tentang isu-isu yang erat kaitannya dengan situasi sosial-politik kebudayaan kontemporer. Dari beragam pengalaman mempelajari aspek-aspek visual di atas pada gilirannya memengaruhi proses pengembangan karya seni performans saya. Dari awalnya melihat seni performans sebagai sesuatu yang “tidak terukur” dan terjadi begitu saja menjadi sesuatu yang punya kaitan yang erat antara konsepsi seni rupa, seni pertunjukan dan bahkan berelasi dengan perkembangan dimensi sosial-politik-budaya kontemporer.
Dari pengetahuan tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk memproduksi karya Study on Sanja Ivekovic: Practice Makes a Master. Karya ini merupakan studi pertama saya atas sebuah karya seni performans dari Sanja Ivekovic, seniman dan aktivis asal Zagreb, Kroasia. Ia memproduksi karya berjudul Practice Makes a Master pada tahun 1981 di era kekuasaan politik Yugoslavia. Karya Sanja Ivekovic ini mengambil peristiwa hukuman tembak mati yang terekam oleh media. Dalam karya tersebut, Sanja melakukan aksi jatuh berulang-ulang, seperti telah tertembak. Dengan keberadaan tubuh perempuan dalam performans tersebut, saya membaca bahwa perempuan harus berlatih untuk “mati” secara terus menerus untuk hidup.
Akhirnya saya memilih untuk melakukan studi terhadap gestur jatuh dalam ruang pertunjukan. Sebagai tahap awal dalam proyek performans ini, pada waktu itu, saya rasa, saya membutuhkan “pantikan” untuk jatuh. saya memilih menggunakan metode partisipatoris dalam karya performans saya dengan memperhitungkan ruang gelap dan penonton yang diposisikan berdiri melingkari saya. Saya meminta penonton untuk melemparkan bola ke arah saya berulang-ulang kali sehingga tubuh saya jatuh berulang-ulang kali secara logis dan terukur.
Karya kedua dalam proyek yang sama diproduksi pada Juni 2019, saya mengambil elemen ruang pertunjukan lainnya, yaitu panggung dan intervensi visual pada ruang pertunjukan yang sakral. Saya meletakan +/- 100 balon pada bangku penonton. Saat balon diledakan di tengah-tengah kegelapan ruang, lampu panggung akan menyala dan memperlihatkan tubuh perempuan yang terjatuh. Karya ini mengedepankan elemen-elemen dramaturgi sebagai dasar pertunjukan panggung.
Pada karya ketiga Study on Sanja Ivekovic: Practice Makes a Master (Video Edition) yang diproduksi pada Agustus 2019, saya mulai mencoba medium video sebagai eksperimen bentuk artistik dalam proyek ini. Selama 32 hari, saya memproduksi video yang menunjukan aksi jatuh pada platform Instagram stories dari pukul 09:00 hingga pukul 17:00. Video diunggah setiap satu jam dan aksi jatuh dilakukan langsung pada jam-jam tersebut. Total video yang terproduksi adalah sebanyak 288 video yang direkam dari ruang dan situasi keseharian yang berbeda. Karya ini dipresentasikan sebagai karya instalasi video performans pada sebuah pameran yang berlokasi di ruang non-galeri.
STUDY ON SANJA IVEKOVIC: PRACTICE MAKES A MASTER (Photography Edition)
Karya keempat Study on Sanja Ivekovic: Practice Makes a Master (Photography Edition) diproduksi pada tahun 2020, saat masyarakat diharuskan untuk kembali ke ruang-ruang domestik pada masa pandemi. Pada karya ini, saya mencoba meneruskan studi saya terhadap medium teknologi dalam sebuah karya performans. Fotografi performans sebenarnya merupakan tantangan artistik dari Kurator pameran. Saya berupaya untuk mengenali elemen-elemen dasar teknologi tersebut saat memproduksi karya ini, seperti ketika saya mencoba mengenali elemen-elemen dasar dalam pemanggungan. Misalnya saja, dalam karya video saya belajr bahwa video memiliki aspek durasional yang berbeda dengan filem—yang mana secara teknologis video memungkinkan permainan durasi yang tak terbatas. Tetapi, karena saya menggunakan platform Instagram stories, maka eksplorasi durasi video disesuaikan dengan fitur yang memungkinkannya berlangsung selama 15 detik saja. Dalam rangka pengembangan karya fotografi performans, terdapat aspek-aspek teknis seperti shutter speed, exposure, depth of field, yang bisa dieksplorasi. Pada karya ini, saya mengeksplorasi kemungkinan bagaimana teknologi perekam dapat menangkap peristiwa ephemeral dalam sebuah bingkaian gambar diam dengan menjatuhkan objek di luar tubuh saya, yakni atribut yang merepresentasikan tubuh saya, sehingga memunculkan konsepsi tubuh dan gestur jatuh yang telah saya eksplorasi selama ini.
Bagi saya, rangkaian proyek Study on Sanja Ivekovic: Practice Makes a Master merupakan upaya saya untuk mengenal kemungkinan-kemungkinan bentuk seni performans yang lebih luas. Dimulai dari pertunjukan langsung dengan partisipasi penonton, kemudian pendobrakan konsepsi ruang panggung yang sakral, lalu representasi tubuh dalam ruang media yang bersifat “snapping” a la “stories”, hingga eksplorasi ruang domestik yang dibekukan dalam bingkaian fotografi. Dalam konteks seni performans, perlakuan tubuh terhadap ruang tentu mempertimbangkan aspek visual. Bagaimana tubuh membentuk komposisi visual melalui serangkaian aksi atau peristiwa yang terjadi dalam ruang presentasinya menjadi penting diperhatikan dalam sebuah karya seni performans.
Pengalaman membuat karya performans dalam ruang-ruang pertunjukan yang berbeda ini membuat saya memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai keterkaitan antara tubuh, ruang, medium, dan peristiwa dalam seni performans. Bagaimana kemudian relasi antara tubuh seniman dengan konteks ruangnya? Atau bagaimana medium seni dapat berelasi dengan sejarah ruang tertentu? Saya rasa untuk menjawab pertanyaan ini, pengalaman berkarya dalam ruang eksibisi saja tidak cukup untuk membedah relasi antara ruang dan tubuh sebagai medium seni.
Maka, pada tahun 2019 saya bersama dengan dua seniman teater asal Pemenang, Lombok Utara, Martini Supiana dan Muhammad Gozali, melakukan sebuah proyek kolaborasi yang mencoba merespon keseharian warga Pemenang dan menariknya ke dalam bingkaian seni yang saling bersinggunggan, yaitu teater dan perfomans. Proyek kolaborasi ini diberi nama Teater Isin Angsat. “Isin Angsat” dalam bahasa lokal memiliki makna sebagai segala sesuatu yang dibawa oleh pasang dan tertinggal saat surutnya air laut. Dalam konteks Kota Pemenang, terdapat kelompok yang dikenal sebagai gerombolan “Isin Angsat” yang terdiri atas sekumpulan orang-orang yang dihormati warga Pemenang karena garis keturunan atau kontribusinya kepada Kota Pemenang. Yang menarik, dalam kesehariannya mereka memiliki kesenangan tersendiri untuk saling menjahili kawan-kawannya, sehingga gerombolan “Isin Angsat” ini lebih dikenal sebagai orang iseng di Pemenang.
Teater Isin Angsat dihajatkan sebagai ruang yang mengkaji keseharian, juga ruang studi teater dan irisannya dengan seni performans. Dalam prosesnya, Teater Isin Angsat mengedepankan konsep non-pemanggungan untuk merespon ruang-ruang milik warga dari ruang privat, ruang semi privat, hingga ruang publik. Karya-karya yang dilakukan oleh Teater Isin Angsat menyesuaikan dengan konteks lokasi tertentu. Naskah dibuat dari pembacaan terhadap lokasi tersebut, sehingga pemilihan lokasi menjadi sangat spesifik. Oleh karena itu, pertunjukan yang dilakukan mengedepankan ruang-ruang yang ada di tengah warga. Sehingga karya yang dipentaskan dapat menguji dan mengaktivasi keseharian warga secara performatif.
Teater Isin Angsat bernegosiasi dengan ruang untuk melakukan aksi yang kesannya sangat “Isin Angsat”, atau dalam kata lain, mengkritik situasi sosial dengan intervensi-intervensi yang bersifat mengganggu. Ada persinggungan antara situasi sosial dengan skenario-skenario dalam proyek Teater Isin Angsat yang sengaja dimunculkan untuk mengaktivasi mesin kritik sosial lewat bingkaian seni. Terdapat dua jenis gangguan yang dilakukan oleh Teater Isin Angsat, yaitu mengganggu kondisi keterputusan antara seni dan warga, yang tentu terkait dengan persoalan sistem yang lebih besar; dan mengganggu kemapanan tradisi seni pertunjukan dan seni performans yang agung. Keputusan Teater Isin Angsat untuk keluar dari panggung (pertunjukkan modern) membuat relasi narasi sejarah dan ruang menjadi penting. Melalui aksi yang dilakukan langsung di lokasi, maka seni secara langsung diuji oleh masyarakat.
Melalui karya yang dilakukan bersama Teater Isin Angsat ini, keterhubungan antara ruang, tubuh, dan peristiwa medium seni performans menjadi lebih dalam. Narasi dari tubuh dan ruang, dapat berkaitan erat dengan peristiwa yang terjadi dalam karya seni performans. Dengan menggunakan konsep non-pemanggungan, maka saya melihat bentuk estetika yang berbeda antara teater dan performans. Bahwa seni performans bersifat sangat langsung. Peristiwa yang muncul dalam karya performans yang dilakukan langsung di ruang warga saling berbenturan dengan narasi-narasi sosial dalam konteks ruang tersebut, yang pada gilirannya membentuk kemungkinan bagi warga untuk melihat isu sosial dengan lensa baru.