M 1/1

Ayat-ayat tersebut diinternalisasikan dan “ditetapkan” kepada orang-orang beriman sebagai hal yang pantas diterima begitu saja, atas dasar keyakinan (agama) dan tradisi (adat). Itulah yang kemudian dikritik Maria Silalahi melalui karya seni pertunjukan ini. Berulang kali Maria menulis sebuah ayat Alkitab yang paling menonjol dalam rangkaian kenangan masa kecilnya, kemudian menyisipkan gangguan kecil (melalui penekanan pada warna) sebagai manifestasi dari sikap skeptisnya terhadap otoritas absolut dari institusi dan tradisi keagamaan. Ayat yang berulang seakan menjadi mantra yang merepresentasikan suara yang berupaya membebaskan tubuh dari belenggu nilai-nilai yang menentukan tindakan, tingkah laku, ekspektasi, dan keinginan seseorang di tengah-tengah masyarakat. Melalui seni pertunjukan ini, Maria mengajak kita untuk memikirkan kembali sistem agama dan tradisi yang bekerja di tubuh kita dan lingkungan interaksi sosial kita di masyarakat luas.

The verses are internalized and “established” to the believers as things that deserve to be taken for granted, on the basis of beliefs (religion) and traditions (adat). That was what Maria Silalahi then criticized through this performance artwork. Maria wrote repeatedly a verse of the Bible which is most prominent in her series of childhood memories, then inserted a small disruption (through emphasis on color) as a manifestation of her skepticism towards the absolute authority of religious institutions and traditions. The recurring verse seems to be a mantra that represents the voice that seeks to free the body from the bondage of values that determines the actions, behaviors, expectations, and desires of an individual in the midst of society. Through this performance art, Maria invites us to rethink the system of religion and tradition that works in our bodies and the environment of our social interaction in the wider community.