KETIKA MEMPERSIAPKAN KARYA seni performansnya yang pertama dalam rangka acara perdana 69 Performance Club di tahun 2016, yang akan diadakan di Forum Lenteng, Jakarta, Muhammad Fauzan Chaniago, atau yang biasa disapa Padang, bercerita kepada saya bahwa dia ingin melampiaskan unek-uneknya—rasa kesal, marah, dan kecewa yang muncul akibat beberapa masalah dalam hubungan pertemanan. Dia membayangkan, bagaimana jika pelampiasan itu menjadi bagian dari karyanya, menjadi bahasa artistik yang performatif, tetapi tidak menyulut perseteruan baru. Dengan latar belakang itu, Padang sampai pada keputusan untuk mempersoalkan ide komunikasi di karyanya.
Selain eksplorasi tubuh sebagai medium utama, perihal yang kerap dihadirkan dalam sebuah karya seni performans adalah daya tahan (endurance) dan pengadaan pesan yang subtil—atau puitik. Daya tahan merujuk kepada daya tahan tubuh yang dieksplorasi, sedangkan pesan subtil bisa merupakan konsekuensi dari pengujian daya tahan tersebut.
Suasana pembukaan acara perdana 69 Performance Club di Forum Lenteng, Jakarta, pada tanggal 7 Januari 2016 (Foto: Forum Lenteng).
Sementara itu, pada dasarnya, capaian artistik dari suatu penciptaan sebuah karya seni bisa dibilang ditentukan oleh dua hal. Pertama, ialah intensitas; dalam arti, intensitas si seniman dalam menggeluti medium karya. Kedua, adalah daya tahan; dalam arti, bagaimana intensitas yang terjadi itu berhubungan dengan orientasi si seniman dalam menguji daya tahan dirinya sendiri terhadap medium. Kedua faktor ini, bisa dikatakan juga, berlaku pada semua penciptaan karya seni jenis apa pun. Pada karya-karya yang bersifat “non-happening”, “nontindakan langsung”, atau “nonpertunjukan”, seperti gambar, lukisan, dan patung, intensitas dan daya tahan itu akan terpancar dari visual yang dihasilkan (output-nya hadir setelah melalui proses intens dan pengujian daya tahan). Sedangkan karya-karya yang sifatnya “happening”, atau yang berbasis “tindakan” dan “pertunjukan”, seperti seni performans (performance art), intensitas dan daya tahan justru dihadirkan sebagai peristiwa langsung, yang mana peristiwa itu sendirilah yang merupakan karya utamanya.
Dalam hemat saya, I’m Talking to You (2016) adalah eksperimen Padang untuk membicarakan soal daya tahan tubuh itu, sekaligus dalam rangka mendudukkan proses penyampaian suatu pesan secara subtil sebagai sebuah peristiwa performatif. Ia mengupayakannya dengan cara mengganggu jalur komunikasi yang umum dilakukan manusia sehari-hari, yaitu komunikasi lisan. Maksud dari gangguan tersebut, di satu sisi, adalah untuk memiuh cara komunikasi/tuturnya, dan pada sisi yang lain, untuk menghasilkan distorsi pesan. Namun, pemiuhan dan penyimpangan yang dicapai bukanlah perubahan makna pesan, melainkan perubahan dari bentuk pesan.
Padang menggunakan baskom dan air. Pada performansnya kala itu, setelah ia menuangkan sebanyak lebih-kurang satu setengah galon air ke dalam baskom, Padang berbicara ke dalam air itu. Awalnya, dia berdiri terlebih dahulu di depan baskom yang diletakkan di atas meja setinggi lutut, dan setelah mengucapkan satu kata, “Saya…” dia langsung membenamkan wajahnya ke dalam baskom berisi air tersebut sembari terus berkata-kata. Seketika, penonton mendengar bunyi gelembung-gelembung air yang iramanya ditentukan oleh intonasi dan hembusan napas dari mulut Padang yang berbicara di dalam air. Sesekali, Padang mengangkat kepalanya. Tentu kita tak akan tahu dengan jelas apa yang ia katakan, tetapi kita dapat mendengar beberapa kata saat ia menarik kepalanya dari air untuk mengambil napas, di antaranya: “Saya…,”, “Seperti…,”, “Dan…,”, “Ke…,”, “Namun…,”, “Kemudi…,” (bisa diduga, ini adalah kata ‘kemudian’), “Sudah…,”, “Semua…,”, “Bukan…,”, dan “Ke…,”. Semakin lama, mungkin karena emosinya semakin meningkat—dapat terlihat dari genggaman tangannya yang tergeletak di sebelah baskom—Padang semakin membenamkan bagian kepalanya ke dalam air, hingga akhirnya seluruh bagian kepalanya terbenam. Di penghujung performans, Padang berdiri dengan kepala basah kuyup, ia menutup aksinya itu dengan berkata: “Diam, diam! Bukan, bukan! Mengerti, saya mengerti! Percaya, saya percaya! Sudah, semuanya sudah! Dan semuanya hanya menjadi rahasia!”
Kata-kata itu tampak disusun menjadi sebuah puisi. Tapi, apakah benar sebuah puisi yang dideklamasikan oleh Padang di dalam air? Tidak ada yang tahu selain si seniman sendiri. Akan tetapi, apa yang didengar oleh penonton bisa kita sebut puisi juga, dalam hal kehadirannya sebagai “puisi bunyi”. Pemiuhan dan penyimpangan yang dilakukan oleh Padang ialah perubahan pesan, dari yang berbentuk kata-kata menjadi bentuk bunyi (gelembung air).
Bunyi gelembung air barangkali hanyalah suatu bunyi yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, di sinilah kita melihat apa yang signifikan dari sebuah karya seni performans, yaitu “tindakan si seniman” dan “peristiwa yang tercipta dari tindakan itu”. Aspek puitik dari “bebunyian” yang dihasilkan oleh Padang tercipta justru karena tindakan menghasilkan bunyi tersebut dibingkai sebagai sebuah peristiwa. Dengan kata lain, ini adalah tentang “perisitwa bebunyian” yang dikonstruksi, bukan sekadar “konstruksi bebunyian”. Apa yang perlu diakui sebagai “pesan artistik” (atau pesan subtil) dari I’m Talking to You adalah “bunyi yang diperistiwakan” itu sehingga kita tidak lagi berada pada tahap mengejar makna pesan yang sesungguhnya. Pendekatan ini adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa distorsi dapat menjadi bahasa seni tersendiri.
Refleksi yang menarik dari karya Padang ialah pilihan aksi dan objeknya dalam mendemonstrasikan isu “komunikasi distortif”. Padang tidak terjebak pada kecenderungan umum yang menggejala waktu itu, ketika banyak seniman berjibaku dengan teknologi media dan media baru untuk menyuarakan isu tentang komunikasi. Padang justru memilih tindakan dan medium komunikasi purba, yaitu lisan dan bunyi.
Dari segi karakteristik jenis karyanya, yaitu seni performans, intensitas dan daya tahan yang dilakukan Padang berporos pada tubuh. Seberapa giat (intens) ia menguji daya tahan mulut, napas, dan komitmennya dalam menjaga kerahasiaan pesan, adalah pokok dari perlakukan artistik karya. Bunyi gelembung air yang tercipta, sebagai konsekuensi dari tindakannya itu, tersuarakan di luar kontrol—bunyi gelembung air tercipta secara alamiah dan tak terprediksi—karena si seniman fokus pada pelafalan pesan di dalam air. Apa yang kita saksikan, bisa dikatakan, ialah suatu aksi yang mencoba meledakkan batas-batas teatrikal. Mempertimbangkan apa yang melatarbelakangi ide karya tersebut, seperti yang saya singgung di awal, I’m Talking to You seakan mengingatkan kita pada gagasan Artaud yang mempelopori sebuah bentuk kesenian yang, di kemudian hari, disebut “seni performans”, yaitu niatan untuk membuat penyebab-penyebab penderitaan (kegalauan, kekecewaan, kemarahan, kesakithatian, dll.) dapat didengar melalui realitas penderitaan itu sendiri, yang dalam konteks karya Padang, diwujudkan melalui daya tahan tubuhnya berbicara di dalam air. *