Silakan baca edisi Bahasa Inggris dari artikel ini di link berikut: Esion Performance, the Disruptor
SAYA PUNYA SEORANG kawan yang sangat responsif tiap kali menonton, baik ketika menonton lewat laptop, di bioskop, maupun di ruang pertunjukan teater. Tiap adegan yang ditonton dapat sewaktu-waktu memicu reaksi yang ber-ragam darinya, mulai dari sekedar berisik, meremas tangan, menabok, memeluk kawan di sebelah, bahkan sampai tak sengaja menendang laptop yang menayangkan tontonan. Ia sendiri tak suka menonton di bioskop, sebab mulutnya yang tak bisa diam sering membuatnya dimarahi penonton lain. Baginya, layar tancap dan pertunjukan-pertunjukan yang ia tonton di hajatan tetangga saat masih kecil jauh lebih mengasikkan daripada bioskop. Ia tak harus duduk manis menutup mulut di sana. Celetukkan yang sewaktu-waktu dilontarkan pun jarang menuai desisan Sssttt! sebagaimana yang kerap ia terima di bioskop.
Kebiasaan kawan saya ini sebetulnya adalah hal yang tak terlalu mengejutkan, apalagi aneh. Ia tak dibesarkan untuk menonton di bioskop. Ia lebih terbiasa menonton layar tancap, orkes, dan acara pertunjukan yang disewa saat hajatan warga, yang sifat tontonannya cair dan memungkinkan penonton leluasa berinteraksi. Jenis-jenis tontonan semacam ini sebetulnya memang jauh lebih dominan di antara warga. Merujuk pada pertunjukan tradisional seperti lenong, ludruk, ketoprak, dan beberapa jenis pertunjukan wayang, pemanggungan yang cair dan interaktif antara penonton dan penampil memang hadir sejak lama. Sejumlah acara TV, baik yang fokus pada komedi, musik maupun talkshow pun kerap menggunkan model pemanggungan tersebut. Opera van Java (Trans 7, 2008 – sekarang), Extravaganza (Trans TV, 2004 – 2013) merupakan contoh acara TV yang menempatkan interaksi penonton dengan host acara sebagai salah satu elemen utama hiburan. Kepenontonan semacam inilah yang barangkali kawan saya anut pula. Dan ia dalam hal ini sungguh tak sendirian.
Jika membicarakan konteks kepenontonan di Indonesia, ruang steril yang menjamin kesakralan momen menonton kadang menjadi sebuah kebutuhan yang sulit terpenuhi. Pada tradisi menonton filem di bioskop, misalnya, ruangan yang gelap dan minim gangguan suara merupakan bentuk prakondisi yang harus terpenuhi agar kesakralan menonton sinema tercapai. Namun, aturan tertulis dan lisan yang diharapkan dapat menjamin kondisi tersebut seringkali harus berhadapan dengan publik yang kerap membawa serta kebiasaan mengobrol dan kasak-kusuknya ke dalam ruang menonton hingga menjadi gangguan tersendiri.
Dalam karya-karya yang fokus pada materi yang berhubungan dengan bunyi, prakondisi dan problematika serupa pun muncul. Sifat kedap pada ruangan terhadap bunyi di luar karya adalah sebentuk kesakralan yang biasanya dibutuhkan. Namun kondisi itu hanya bisa terpenuhi jika intensitas tertentu untuk membuat sebuah ruangan yang steril dari bunyi – baik intensitas secara rancangan ruang atau secara aturan – tercapai. Itu pun belum sepenuhnya menjamin bahwa si karya akan terhindar dari gangguan suara, terutama suara dari audiens-nya sendiri. Bagi karya-karya bunyi yang berjibaku dengan noise atau kebisingan, situasi sosiokultural ini adalah sebuah tantangan yang sebetulnya menunggu respons.
Pertama kali saya jumpai respons semacam itu ialah pada 19 Mei 2018 saat menonton performans Theo Nugraha, seorang seniman sound asal Kalimantan Timur. Performans Theo saat itu, berjudul Sinyal Selatan, merupakan hasil residensinya selama satu bulan di Forum Lenteng. Karya tersebut melibatkan aksi merekam bunyi yang ada di sekitar Forum Lenteng dan Jakarta Selatan untuk kemudian didengarkan kembali dan dipetakan ulang menggunakan sketsa, simbol, dan tulisan. Saat performans Theo dilakukan di Forum Lenteng, bunyi-bunyi yang ia pilah dikomposisikan secara live, berkelindan dengan bunyi yang diproduksi dari peralatan elektronisnya dan dengan bunyi-bunyi lain yang saat itu muncul dari jalanan depan kantor Forum Lenteng. Soundscape noise tersebut memicu pemikiran saya tentang polusi suara di Jakarta. Waktu itu, Theo menanggapi pendapat saya dengan premisnya, bahwa membicarakan noise di Jakarta adalah hal yang tak lagi relevan jika mengingat betapa bisingnya kota ini, apalagi ditambah dengan situasi kantor Forum Lenteng yang nyaris tak pernah sunyi oleh suara-suara kesibukan dan keberisikan penghuninya. Maka ia memilih membingkai ulang bunyi yang sudah ada tersebut.
Saya sendiri tak dapat menyebut diri sebagai seorang ahli seni bunyi-bunyian, apalagi menyangkut noise. Akan tetapi, bukankah sebetulnya peluang selalu terbuka bagi siapa pun untuk menyumbangkan khasanah pemikiran mengenai pengalaman menontonnya demi memperkaya wacana dan catatan arsip?
Maka dari itu, tulisan ini mencoba untuk memaparkan catatan dan tawaran-tawaran bacaan terkait dengan peristiwa menonton sebuah performans noise berjudul Esion, karya Milisifilem Anggrek. Merupakan sebuah platform studi dan produksi audio-visual yang diinisiasi oleh Forum Lenteng, Milisifilem memilih bentuk lokakarya dan kelas sebagai mediumnya, yang kini telah diisi oleh tiga angkatan yang berbeda. Anggrek merupakan nama angkatan ketiga Milisifilem yang diisi oleh sepuluh orang peserta: Humaedi Onyong, Theo Nugraha, Alifah Melisa, Niskala Utami, I Gede Mika, Erviana Madalina, Taufiqurrahman dan Syahrullah, Maria Deandra dan Pychita Julinanda. Pada 10 Januari 2019, Milisifilem Anggrek menghadirkan performans Esion di Akademi ARKIPEL 2019 di Vila Bukit Athaya, Puncak, Jawa Barat.
Dalam performans ini, Milisifilem Anggrek berangkat dari karya Sinyal Selatan oleh Theo Nugraha, yang kemudian dikembangkan dan diadaptasikan dalam bentuk performans kolektif. Performans ini kemudian berfokus pada produksi bunyi yang berlangsung dalam lingkup aktivitas kolektif Milisifilem Anggrek di kantor Forum Lenteng. Bunyi yang telah direkam kemudian diterjemahkan ke dalam graphic score untuk kemudian dimainkan dan dikomposisikan ulang secara live.
Aktivasi Kepenontonan
Duduk di antara kawan sesama Milisifilem Mawar-Melati (peserta Milisifilem angkatan pertama-kedua) dan partisipan Akademi ARKIPEL 2019 yang menonton performans Esion, saya mengamati ketujuh partisipan Milisifilem Anggrek yang bersiap melakukan performans. Empat orang di sebelah kanan, tiga orang di sebelah kiri. Di antara kedua sisi tersebut hadir sebuah layar yang menampilkan simbol-simbol bunyi beserta artinya. Glosarium simbol tersebut lalu berganti menjadi sebuah komposisi simbol yang dinamai oleh Milisifilem Anggrek sebagai graphic score Esion.
Tengah asik mengamati, cekikikan dari dua orang perempuan di belakang saya mulai terasa mengusik. Pikir saya, apakah dua orang ini tidak tahu bahwa sebentar lagi performans akan dimulai sehingga patutnya penonton hening? Tak lama kemudian saya heran, kenapa dua orang ini malah duduk di belakang saya sedangkan kawan-kawan kelompoknya ada di depan hendak melakukan performans?
Keheningan sebelum performans terus terganggu oleh obrolan kedua perempuan itu. Penonton lainnya pun mulai terganggu. Selain mengerutkan wajah, memandang sengit, beberapa penonton mulai mengeluarkan desisan Sssttt! yang diarahkan pada mereka. Beberapa penonton lainnya yang merasa jengkel pada keduanya pun menegur keras. Kedua perempuan itu tak kunjung diam. Sekonyong-konyong, salah seorang penonton yang duduk di depan saya pun menengok ke belakang, dengan sigap menepuk keras berkali-kali tubuh kedua perempuan itu secara bergantian. Saya tertegun. Siapa sangka ada penonton yang bereaksi begitu keras pada keheningan yang terganggu ini.
Tetapi keduanya seolah tak jera dan terus saja mengobrol. Mulailah kami tersadar bahwa rupanya keberisikan mereka adalah bagian dari performans juga. Tak henti pada sekadar mengobrol dan cekikikan, salah seorang dari mereka pun meminjam korek pada penonton. Ia bicara keras-keras sebab bunyi noise dari depan membuat suara vokalnya tidak terdengar secara merata ke seluruh ruangan. Si penonton yang dimintai korek menyahut dengan suara yang lebih keras lagi. Dua perempuan itu terus saja beraksi. Di kesempatan lain mereka mencolek penonton, mengajaknya kenalan dan meminjam korek (lagi) darinya. Si penonton berusaha merespon dengan tak berisik meskipun si perempuan berisik bicara keras-keras, membuat semua orang tahu apa yang dia bicarakan. Beberapa penonton lainnya tertawa melihat aksi itu.
Ruang menonton yang mulanya steril, menciptkan kondisi berjarak antara penonton dan penampil, kemudian berubah menjadi sangat cair. Jarak antara penonton dan penampil pun ter-reduksi. Potensi interaktivitas pada jarak tersebut menjadi terbuka dengan kehadiran dan aksi-aksi kedua perempuan berisik tadi sebagai penjembatan. Mereka menjadi penghubung yang secara konstan mengaktivasi penonton untuk terlibat memproduksi bunyi dan menjadi bagian aktif dari performans tersebut ataupun memilih diam. Dalam sebuah ruang pertunjukan yang biasanya meletakkan penonton dalam situasi pilihan yang terbatas, penonton di sini justru disituasikan untuk memiliki banyak pilihan. Bagi saya pribadi, kondisi ini menjadi refleksi kritis terhadap situasi menonton yang selama ini saya kenali sebagai standar menonton yang disepakati khalayak: serba sakral dan hening.
Gangguan pada yang Mapan
Selama performans, bunyi di ruangan terpilah menjadi dua: yang diproduksi oleh pengeras elektronik dan yang diproduksi oleh mulut penampil maupun penonton. Simbol-simbol dalam graphic score Esion yang telah ditayangkan sejak sebelum performans hingga akhir performans, membantu saya beserta para penonton lainnya untuk memetakan ulang bunyi yang kami dengar saat performans berlangsung.
Tetapi Graphic score Esion ini tak mengharuskan pembacanya untuk membaca dari arah tertentu. Ia membebaskan pembacanya untuk mengintepretasikan bagaimana bunyi dalam performans ini dikomposisikan. Dengan kata lain, tafsiran setiap orang yang hadir dalam ruangan ini terhadap graphic score Esion akan berbeda-beda. Simbol aktivitas, misalnya, dapat diterjemahkan dengan kegiatan penampil di depan yang memproduksi bunyi dengan cara meraut pensil, mengarsir, maupun dengan kegiatan menggunting kertas. Bunyi yang dihasilkan aktivitas tersebut ditangkap menggunakan contact microphone kemudian disalurkan pada sebuah mixer. Simbol-simbol yang menggambarkan bunyian terkait dengan gelombang atau noise itu sendiri diintepretasikan dengan bunyi dari radio, Kord DS di Nintendo DS maupun dari aplikasi synthesizer di android. Selain itu terdapat pula bunyi-bunyian dari kegiatan dan percakapan sehari-hari di kantor Forum Lenteng yang telah direkam oleh Milisifilem Anggrek selama satu minggu sebelumnya. Bunyi-bunyi tersebut di atas diseleksi dan dikomposisikan secara langsung melalui mixer, berkelindan dengan bunyi yang diproduksi oleh keberisikan percakapan di ruang performans itu sendiri.
Nyaris sama dengan intepretasi komposisi grafis Esion yang subjektif, tangkapan terhadap bunyi pada performans ini pun akan sangat subjektif. Dalam artian, bunyi yang ditangkap audiens pun berbeda-beda sesuai dengan jarak pendengaran penonton dari sumber bunyi. Bagi saya yang duduk begitu dekat dengan dua perempuan berisik tadi, maka bunyi-bunyian representasi dari pengeras suara nyaris dimakan habis oleh presentasi vokal kedua perempuan tadi ketika volume suara mereka semakin keras. Keberisikan penonton menjadi distorsi bagi bunyi-bunyi elektronis yang biasanya dikenali sebagai pemain utama dalam skena musik noise.
Pada sesi diskusi pasca-performans, Otty Widasari (seniman dan pendiri Forum Lenteng) mengungkapkan pendapatnya tentang bagaimana berisik telah menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa sosial budaya di Indonesia. Ia bercerita bahwa pernah suatu ketika seorang seniman sound asal Finlandia, Tero Nauha, melakukan residensi di Jakarta pada tahun 2000. Secara sosiokultural, ia memiliki latar belakang yang berbeda dengan situasi ruang kerja di Jakarta yang cenderung komunal. Soundscape di Jakarta dan sekitar ruang residensinya yang selalu bising pun membuatnya nyaris tak mungkin mendapat ruang kerja yang steril dari bunyi sebagaimana yang mungkin ia dapat di kota asalnya.
Berdasarkan cerita Otty, seniman ini lantas tergerak untuk memprovokasi kebisingan ini dengan menciptakan keteraturan bunyi, dimulai dari membuat bunyi yang pelan sampai menjadi sangat keras hingga ia mendominasi dan membuat orang-orang terdiam. Kejenialan pada karya Tero Nauha, menurut Otty, terletak pada bagaimana ia mengalihkan ketidakteraturan dengan keteraturan dan disiplin yang keras. Di sisi lain, Otty pun membahas bahwa berkebalikan dari aksi Tero Nauha, Esion justru membingkai dan mengomposisikan kebisingan yang mereka temukan. Kritik dan provokasi keduanya terhadap soundscape di suatu lokasi dihadirkan dalam dua cara yang berbeda, mengacu pada dua latar sosiokultural yang berbeda, namun sama-sama menawarkan pengalaman estetik yang bernas.
Menelusuri persoalan tentang noise, saya sedikit menelaah literatur yang membicarakan cikal-bakal noise dalam seni. Merujuk pada tulisan Luigi Russolo yang berjudul The Art of Noise (futurist manifesto, 1913), kehadiran seni noise mulanya adalah sebuah kritik atas seni musik yang dinilai hanya mencari kemurnian bunyi, yang biasanya lembut dan jernih, serta selalu berintensi terhadap komposisi yang melodis. Sehingga kemudian noise diniatkan hadir untuk menawarkan ketidakharmonisan dalam musik lewat campuran bunyi yang melengking dan sumbang.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya, seni noise tak lagi selalu menghadirkan kritik dalam ketidakharmonisannya. Dalam sebuah komentar saat diskusi, seorang penonton mengungkapkan bahwa pengalamannya ketika menonton performans noise justru tak berbeda dengan pengalaman menonton musik klasik. Para penonton diam dengan khidmat selama performans, seolah tak berani mengusik momen noise tersebut. Noise itu sendiri telah menjadi mapan.
Di sinilah keusilan karya Esion, yang membalik kata noise, menjelma menjadi aksi yang jenial. Pembalikan kata tersebut merupakan sebentuk distorsi bagi kata noise itu sendiri. Di saat bersamaan, aksi tersebut juga menjadi konstruksi estetika karya yang bereksperimentasi terhadap pemaknaan apa yang disebut sebagai noise, atau kebisingan. Noise yang umumnya lahir dari distorsi elektronis sengaja dihadirkan bersamaan dengan noise dari distorsi percakapan keseharian yang diproduksi saat performans berlangsung. Gangguan suara dan bunyi yang biasanya disunyikan dalam tradisi menonton, justru dibingkai dan dikomposisikan menjadi sebuah karya seni.
Dalam satu kali lemparan ide, performans Esion telah menganggu dua buah tatanan yang mapan: noise dan kepenontonan. Jika kembali pada bahasan tentang kultur menonton di atas, distorsi-distorsi sepanjang performans ini juga adalah sebuah metode untuk melibatkan penonton sebagai subjek yang dapat dengan kritis menjadi bagian dari konstruksi estetika performans. Sebagaimana bentuk kultur lainnya, kultur menonton pada kebanyakan wilayah seni pertunjukan dan sinema hari ini merupakan hasil konsensus dari kultur menonton di sebuah lokasi tertentu, yang kemudian dibawa ke lokasi lainnya. Melalui peristiwa kesejarahan yang panjang, ia menjelma menjadi konsensus baru pada lokasi yang didatangi. Meski demikian, bentuk kultur menonton lainnya tidak sepenuhnya tersingkir. Ia berubah menjadi kultur yang sifatnya lebih keseharian dan, oleh karena potensi cairnya yang mengundang massal, cenderung dekat dengan ranah populer. Ia menjadi konsensus pula pada bidang tertentu, yang cenderung berorientasi pada hiburan.
Melalui bentuk performans tentang noise, Esion kemudian mempertemukan kedua konsensus menonton tersebut. Kultur menonton seni yang sakral diganggu oleh bingkai estetika yang mengaktivasi penontonannya untuk dapat memilih terlibat pada karya dan menjadikan ruang menonton cair. Namun alih-alih terjebak pada keterlibatan yang masih dalam kerangka menikmati hiburan, aksi-aksi keberisikan penonton yang yang berbicara balik pada penampil, mengomentari, maupun ikut berisik selama performans Esion merupakan sebentuk keagensian dalam kepenontonan. Ia menawarkan suatu dialog kritis terhadap tradisi menonton yang telah mapan selama ini. Bahkan pada titik tertentu, proses sepanjang performans yang interaktif dan mengambil bunyi dari keseharian ini memberikan jembatan bagi penonton yang awam noise untuk sedikit memahami tentang noise itu sendiri.
Menjelang berakhirnya performans Esion, keberisikan dua perempuan tadi telah ditimpali oleh penonton lainnya. Si penonton yang pada awal performans sempat ber-reaksi dengan menaboki secara bergantian pun turut menyumbangkan aksi lagi saat menjelang penghujung performans. Ia menyeru, “Rebut alat produksi!”.
Jika reaksi yang pertama tadi adalah sebentuk reaksi ketidaktahuan, maka reaksi yang kedua ini adalah sebuah reaksi yang sadar betul bahwa dirinya pun tengah menjadi bagian dari sebuah peristiwa seni yang punya nilai pengalaman estetika sekaligus nilai wacana. Ia, sebagai penonton, dengan seluruh kesadarannya tersebut, turut mengambil bagian dalam ruang peristiwa dan ikut merebut si alat produksi wacana. Tentunya dengan keyakinan penuh bahwa kali ini di tengah tontonan yang berlangsung, seruannya takkan menuai desisan Sssttt! dari penonton lainnya. *