In Review

SEJAK KARYA SENI performansnya yang pertama, Rachmadi a.k.a. Rambo terbilang kuat membicarakan hubungan antara tubuhnya sendiri dan objek-objek di luarnya. Terkait pendapat ini, kita bisa tinjau kembali dua karyanya yang pertama dengan memberikan catatan sebagai berikut:

Mendaki (2016) karya Rachmadi a.k.a. Rambo. (Foto: Forum Lenteng).

Whitening (2016) karya Rachmadi a.k.a. Rambo. (Foto: Forum Lenteng).

Mendaki (2016) memperistiwakan pengumpulan data tubuh berdasarkan bobot-bobot yang menunjukkan perbedaan durasi dan bentuk perubahan yang dialami objek-objek (yaitu, daki atau kotoran) yang menempel di kulit. Whitening (2016) menyoroti substansi-substansi kimiawi (dari berbagai merek sabun pembersih wajah) dalam rangka menawarkan spekulasi tentang ketahanan kulit tubuh yang menggunakannya. Dalam konteks karya yang pertama, tubuh menjadi sumber yang darinya bekas-bekas peristiwa kecil yang dialami atau yang terjadi pada tubuh itu “dikeruk”, untuk merefleksikan isu-isu keseharian. Dalam konteks karya yang kedua, tubuh menjadi wadah bagi elemen-elemen keseharian untuk mempertanyakan kembali kerja dari suatu sistem ekonomi-sosial-politik yang menentukan perilaku dan pilihan-pilihan manusia terkait tubuh mereka.

Begitu pula dengan karya seni performans Rambo yang ketiga; Rambo masih berbicara tentang hubungan semacam itu. Akan tetapi, karya ketiga ini agaknya lebih menonjolkan modus representasional yang dimungkinkan tatkala tubuh dan objek di luarnya dilekatkan menjadi objek baru di dalam sebuah peristiwa artistik. Namun begitu, hal yang rasanya lebih menarik untuk ditelisik pada karya ketiga ini, bagi saya, ialah gagasan tentang intensionalitas (‘kesengajaan’ atau ‘kesadaran atas sesuatu’)—sebuah konsep penting dalam studi-studi mengenai kesadaran (consciousness). Intensionalitas, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kegiatan/peristiwa batin (mental act atau mental event) yang mengarah pada sesuatu, terbilang penting untuk mempelajari bagaimana pikiran (mind) bekerja dan keterkaitannya dengan objek.

Baca juga: Membaca Mendaki: Tinjauan atas “Mendaki” (2016) karya Rachmadi a.k.a. Rambo

Karya ketiga yang saya maksud berjudul It’s My Party, yang telah dipresentasikan dalam rangka acara 69 Performance Club ke-3 pada tanggal 6 Maret 2016 di Forum Lenteng, Jakarta. Dikurasi oleh Hafiz, tema presentasi 69 Performance Club itu berjudul “Transmitted Delusion”. Kuratorial ini menampilkan karya-karya seni performans yang dianggap mewakili perbincangan tentang seni performans sebagai peristiwa artistik yang mentransmisi tangkapan-tangkapan (atau kepingan-kepingan) kenyataan menuju ke luar—sehingga dapat menjadi berbeda dengan bentuk-bentuk yang telah meriwayat dalam—sejarah sosial, kultural, ataupun kepatutan dari kenyataan tersebut. Dengan kata lain, ramuan artistik pada karya-karya yang dibicarakan dalam kuratorial “Transmitted Delusion”, bisa dibilang, mengejar suatu pertentangan (baik dari segi bentuk maupun isi) dengan rasionalitas kita sehari-hari meskipun keganjilan bentuk atau keganjilan isi yang tercipta, tentu saja, tetap memiliki ikatan tak terputus dengan habitus sosial si penampil (seniman)-nya.

Pada esai kali ini, saya akan mencoba menerapkan “analisa intensional” atas satu aspek penting di dalam It’s My Party, yaitu “keheningan”, dengan merujuk kerangka analisis dari Bernard P. Dauenhauer (1980). Sebelum itu, penting bagi kita untuk mengamati bagaimana Rambo melakukan aksinya dalam karya seni performans tersebut:

Aksi Rambo saat menyajikan It’s My Party adalah memilih dapur sebagai zona tampilan. Di depannya ada meja, di samping kanannya ada kulkas, di belakangnya ada rak-rak dan lemari piring. Awalnya, dia berdiri menghadap meja (yang artinya, juga menghadap audiens); dia berdiri diam, tidak melakukan apa pun, selama lebih/kurang 100 detik. Lalu, dia bergerak mengambil sebotol cream spray dari dalam kulkas, sepiring kertas kecil berisi sebatang lilin dari dalam lemari, lalu—sekali lagi dari dalam kulkas—sepiring kertas kecil berisi semacam taburan (mungkin taburan kue atau kacang). Setelah menata benda-benda itu di atas meja, dia berdiri diam lagi selama lebih/kurang 36 detik.

Kemudian, Rambo menyemprot wajahnya dengan cream spray hingga semua bagian tertutup. Masih dalam posisi berdiri, dengan kepala menengadah, tangannya mengambil taburan kue/kacang lantas menaburkan benda itu ke atas krim yang menumpuk di wajahnya. Tangan yang satu lagi menggapai lilin. Rambo kemudian menggigit lilin itu (posisi sumbu lilin berada di atas). Wajahnya kini tampak seperti kue dengan sebatang lilin yang menancap di tengah-tengahnya. Rambo kembali mengambil posisi diam selama lebih/kurang 24 detik.

Selanjutnya, ia berbalik badan, dan akhirnya menelentangkan badannya ke atas meja—punggungnya menimpa dua piring kertas kecil yang tadinya berisi taburan kue dan lilin. Dengan posisi tubuh/punggung yang menelentang di atas meja, dia diam lagi selama lebih/kurang 100 detik. Tumpukan krim yang semula memenuhi wajahnya tercecer sebagian ke lantai, menyebabkan bagian wajahnya yang berlepotan tersibak. Rambo masih menggigit lilin, tapi kita tak akan melihat ada peristiwa Rambo menyalakan api pada lilin. Performans itu justru berakhir ketika Rambo berdiri, kembali menghadap audiens, sembari melepas lilin dari mulutnya dan membersihkan wajahnya dengan tangan.

Baca juga: Tentang Teks sebagai Teknik Interupsi Performatif

It’s My Party (2016) karya Rachmadi a.k.a. Rambo. (Foto: Forum Lenteng).

It’s My Party bisa kita bilang merupakan contoh karya seni performans yang lebih menitikberatkan aspek personal (atau pikiran, sudut pandang subjektif, dari) si penampil (tubuh), ketimbang aspek sosial (atau kedudukan, realitas objektif, dari) benda (kue), dalam upayanya menuturkan sepenggal ingatan mengenai pesta ulang tahun. Aspek personal itu, terutama, dapat dibaca dengan mempertimbangkan pilihan si seniman untuk memainkan konsep atau makna benda. Alih-alih kue ulang tahun sungguhan, Rambo menggunakan tubuh untuk mengekspresikan objek itu. Ia melakukan permainan makna dengan menggunakan dua elemen penting saja dari keseluruhan wujud kue, yaitu krim dan lilin. Kedua benda ini bekerja sebagai indeks sehingga makna kue dapat “ditransmisikan” ke tubuh. Akan tetapi, transmisi makna tidak terjadi hanya lewat modus indeksikal ini saja. Wujud tubuh yang telah menjadi “kue”, sebagai suatu keganjilan, tentunya akan membuka lorong transmisi bagi pergerakan makna lanjutan. Terkait hal ini, kita juga bisa memikirkan bagaimana “tubuh-kue” ini kemudian akan dicerap dan dicerna oleh audiens yang melihatnya.

Sebagai benda yang umumnya dianggap utama dalam sebuah pesta perayaan hari lahir, saya kira kue ulang tahun bukan semata berfungsi sebagai simbol perayaan, tetapi juga merupakan manifestasi dari luapan emosional. Rasa (atau perasaan), yang tak tampak dan sulit dipahami secara rasional, “dimaterialkan” (atau, setidaknya, berusaha diwakilkan oleh atau melalui materi) sehingga hubungan-hubungan emosional dapat diadakan, diperlihatkan, diperagakan, dan juga ditegaskan ke dalam mekanisme indrawi. Kecenderungan semacam ini juga dapat kita bandingkan dengan upaya manusia membuat manifestasi ketuhanan ke/melalui benda (patung). Namun, dengan mengubah kedudukan “makna kue” dari objek ke tubuh, Rambo agaknya ingin mengganggu akal kita dalam mencerna makna objek dan tubuh itu sendiri. Aksi ini menjadi personal karena pemaknaan normatif si seniman atas benda (kue ulang tahun) itulah yang didesakkan ke audiens, bukan makna kue sesuai konsensus yang selama ini orang-orang pahami.

Mengamati aksi Rambo dalam It’s My Party, bukan dalam rangka mengada-ada jikalau saya mencoba melemparkan pertanyaan: apakah si penampil tengah meluapkan emosinya (bahagia, sedih, atau apa pun itu yang muncul dan dirasakan seorang individu dalam sebuah pesta yang bersifat perayaan untuk capaian pribadinya) dengan mengorbankan diri sendiri sebagai “tumbal” pesta? Pada tataran ini, saya melihat bahwa, dengan desakan pemaknaan yang bersifat personal itu, It’s My Party justru bergema dengan ingatan kolektif kita tentang “situasi-situasi liturgis”.

Interpretasi ke arah itu saya sadari dengan argumen bahwa sikap diam yang ditunjukkan Rambo dalam It’s My Party adalah bagian dari konstruksi temporal yang memang sengaja disusun untuk menciptakan suatu kontradiksi terhadap pemahaman umum kita mengenai pesta. Bukannya riuh gembira, pesta a la Rambo ini berlangsung dengan khidmat. Situasi diam Rambo, atau keheningan yang terjadi dalam performasnnya, menurut saya berfungsi bukan saja sebagai jeda peristiwa (sebagaimana fungsi spasi yang memperantarai setiap kata dalam sebuah kalimat), tetapi juga elemen terpenting yang mengikat keseluruhan ungkapan performatifnya itu sendiri. Keheningan inilah yang menjadi dasar yang menentukan bagaimana aksi si seniman bertransformasi menjadi wacana artistik.

It’s My Party (2016) karya Rachmadi a.k.a. Rambo. (Foto: Forum Lenteng).

Kalau kita mengacu teori Dauenhauer, keheningan (atau, dalam konteks aksi Rambo, sikap diamnya itu) perlu dilihat sebagai sebuah fenomena; keheningan adalah “…sebuah objek yang muncul dalam kesadaran manusia” (Bindeman, 2017: 5). Tidak hanya berhubungan dengan tindakan manusia yang aktif, keheningan merupakan tindakan aktif itu sendiri, atau sebuah cara tutur tersendiri yang juga bisa disebut “momen wacana” (Dauenhauer, 1980: 3-5). Dalam konteks It’s My Party, sikap diam Rambo menciptakan keheningan (karena sikap itu “mereduksi” suara dari dirinya sendiri dan suara di sekitarnya). Keheningan ini berperan seperti intervening silence—mengacu rumusan teoretik Dauenhauer; Rambo sengaja mengonstruksi keheningan itu dengan ritme tertentu, dan pada tiap bagian keheningan menyiratkan aspek melodis karena mempunyai durasi yang berbeda-beda. Itu ia lakukan untuk menentukan aturan tempo performansnya.

Yang menarik, keheningan tersebut, yang mengatur tempo It’s My Party sebagai satu kesatuan peristiwa, nyatanya juga membentuk semacam sikap apresiatif publik terhadap peristiwa yang dihasilkan oleh keseluruhan aksi Rambo. Situasi ini memberi efek bius terhadap lingkungan sekitarnya (terutama terhadap audiens yang menyaksikan). Sebagaimana yang dapat dilihat, pesta Rambo hadir menjadi sebuah situasi sakral, menjadi semacam silent praying. Aura yang bekerja tentu saja bukan bersifat magis ataupun spiritual, melainkan aura seni dan kesenimanan. Ritualisme yang hadir dalam It’s My Party, dengan kata lain, bersifat sekuler. Meskipun begitu, permainan ini terbilang berhasil menerabas jebakan ritualisme hampa. Menempatkannya sebagai hal yang melampaui komunikasi performatif, It’s My Party-nya Rambo, menurut saya, mengandung unsur dari apa yang disebut Dauenhauer sebagai deep silence.

Menjustifikasi It’s My Party sebagai sebuah bentuk deep silence, tentunya, berpotensi mengarahkan kita kepada sebuah simpulan yang akan menjadi kontradiktif, terutama jika menggarisbawai singgungan saya sebelumnya tentang sikap diam Rambo (yang muncul beberapa kali di dalam karya ini) sebagai kumpulan aksi yang bekerja layaknya intervening silence. Sebab, kedua jenis keheningan tersebut memang berbeda satu sama lain.

Berdasarkan teoretisasi Dauenhauer, deep silence merupakan sebuah keadaan hening yang tak mengharapkan tanggapan ekspresif tertentu. Contohnya, pada liturgical silence, salah satu sub-jenis dari deep silence, sikap diam kita saat beribadah dan berdoa bukanlah dalam situasi di mana kita mempunyai daya untuk menyuruh Tuhan segera melakukan atau menanggapi apa yang kita inginkan. Sebab, jenis keheningan ini memang tidak bergantung pada ekspresi-ekspresi yang pasti.

Sementara itu, intervening silence adalah suatu sikap hening melodis dan ritmis yang mengandaikan respon karena jenis keheningan ini bersifat predikatif—bergantung pada ekspresi-ekspresi yang ditetapkan dan dapat digunakan (meskipun nyatanya si subjek yang sedang melakukan ujaran memutuskan untuk tidak menggunakan ekspresi-ekspresi itu—ia justru memilih diam).

Mengingat perbedaan di atas, perlu dicatat bahwa, niatan saya menyinggung aspek tentang adanya unsur deep silence dalam It’s My Party bukan dimaksudkan sebagai simpulan definitif atas karya tersebut, melainkan tinjauan khusus tentang keunikan karyanya—atau mungkin keunikan seni performans pada umumnya: ungkapan artistik dalam seni performans memungkinkan penghadiran suatu keadaan yang saling bertentangan.

Dalam konteks It’s My Party, jenis keheningan intervening silence (yang 100 detik pertama, 36 detik, 24 detik, dan 100 detik kedua) merupakan sebuah ujaran performatif yang mengandung ekspresi-ekspresi determinate. Dalam arti: seorang subjek sengaja bertahan untuk diam, untuk berujar dengan tidak mengungkapkan X (yang mana X adalah ekspresi-eskpresi yang sudah pasti), demi memberi jalan bagi terciptanya ungkapan tentang Y (makna baru) baik oleh si subjek itu sendiri maupun oleh orang lain yang berinteraksi dengannya. Upaya ini sekaligus menciptakan irama dan intonasi di dalam rangkaian aksi atau ujaran yang dilakukan si subjek. Pada kasus Rambo dengan karyanya, rangkaian aksi atau ujaran yang dimaksud adalah berdiri, lalu diam, mengambil benda, berdiri lagi, diam, melekatkan benda ke tubuh, diam, menghimpit benda, diam, lalu berdiri lagi. Sebagai permainan irama, sikap diam yang menciptakan keheningan tersebut adalah suatu “pemenggalan”—atau ‘cut’ dalam pengertian Dauenhauer. Keheningan ini, sebuah ujaran yang dengan sengaja tidak mengungkapkan/mengatakan hal yang dimaksudkan, menstratifikasi peristiwa menjadi beberapa tingkatan. Peristiwanya lantas semacam terbagi ke dalam beberapa babak. Meminjam pemaparan Bindeman tentang teori Dauenhauer (2017: 8), kita bisa memahami bahwa “keheningan yang mengintervensi” berfungsi untuk membangun sekaligus mempertahankan osilasi dan tegangan di antara tingkatan-tingkatan yang ada dalam suatu peristiwa ujaran. Artinya, dapat ditafsirkan bahwa It’s My Party tengah mengejar dramatik tertentu. Dengan analisa seperti ini, kita juga bisa menyatakan bahwa keheningan dalam karya ini adalah sebuah intensionalitas—keheningan oleh sikap diam Rambo adalah “intensional”. Dengan adanya stratifikasi, dan adanya upaya menjaga tegangan di antara tingkatan (atau di antara babak) melalui sikap diam, peristiwa dari karya ini menjadi kompleks. Diam yang dilakukan Rambo, dengan demikian, bukan lagi sekadar diam yang hampa, melainkan menjadi sebuah kesadaran atas wacana.

Sampul buku Silence, The Phenomenon and Its Ontological Significance (Studies in Phenomenology and Existential Philosophy) (Indiana University Press, 1980) karya Bernard P Dauenhauer. (Foto: diakses dari situs web Amazon.co.uk).

Jika kita menganalisanya lebih jauh menggunakan sudut pandang Dauenhauer (1980: 54-82), kita juga bisa memahami bagaimana karya seni performans Rambo ini, sebuah “tubuh-kue” yang terbentuk sebagai kejanggalan, menjadi sebuah momen wacana. Sebab, dalam aksinya itu—terutama karena sebelumnya kita telah menegaskan adanya intervening silence dalam konstruksi It’s My Party—sesungguhnya Rambo telah dan sedang melewati sejumlah cut (istilah yang memang digunakan Dauenhauer untuk mengacu jenis-jenis khusus dari keheningan); cut yang esensial bagi “kejadian atau penciptaan atau pembentukan wacana”, yang terjadi di dalam beberapa tingkatan. Analisa lanjutan terkait hal ini, mengacu teori Dauenhauer, bisa dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, ketika memulai It’s My Party, Rambo mengalami (atau menjalani) “pemenggalan awal untuk melakukan tematisasi” dalam rangka beranjak dari pengalaman-pengalaman pra-predikatif (yaitu, pengalaman-pengalaman, atau kemungkinan-kemungkinan dan ekspresi-ekspresi kosong dari sebuah wacana yang tidak/belum aktif, karena memang belum ditemakan). Cut dalam tahapan tematisasi ini, yang menurut Dauenhauer bisa disebut fore-silence (‘keheningan-awal’ atau keheningan yang bersifat anterior), membantu si “pengujar keheningan” untuk beranjak, atau membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk, menuju tingkatan pertama dari wacana yang sebenarnya (yang diniatkannya). Pada karya yang dibahas, kita tahu bahwa tematisasi yang dilakukan Rambo adalah “memilih pesta ulang tahun sebagai tema performans”, dan lebih khusus lagi, “memilih pesta ulang tahun saya sebagai tema itu (sebagai subject matter karya)”. Secara umum, dalam kasus pelaksanaan suatu tampilan karya seni, khususnya seni performans, keheningan jenis ini bisa dibilang mewujud pada pengambilan sikap untuk memulai aksi—meskipun contoh ini tidak mutlak.

Di dalam tingkatan pertama dari pembentukan wacana, terjadi cut atau pemenggalan yang kedua, yaitu personalizing silence: suatu upaya untuk membuat tematisasi itu sendiri menjadi tematik bagi wacana yang sedang dibentuk. Pada kasus Rambo, “intensi Rambo untuk memilih pesta ulang tahun sebagai tema performans” itulah yang menjadi hal tematik bagi wacana karya seni performans berjudul It’s My Party ini. Pada tahap tersebut, si seniman telah memasuki dan sedang berada dalam apa yang disebut Dauenhauer tingkatan Soliloquy: fase percakapan atas dan dengan dirinya sendiri. Fase ini masih bersifat sangat personal dan mengabaikan keberadaan orang lain atau audiens. Suatu keadaan yang otonom, keadaan swatantra. Akan tetapi, dengan melakukan hal itu, Rambo, si penampil, atau “si pembuat tema”, sebenarnya juga secara terbuka sedang menandai dirinya untuk dikenali. Pada tahapan selanjutnya, personalizing silence menciptakan pola berupa—atau dapat diturunkan menjadi—intervening silence.

Dalam konteks It’s My Party, jenis keheningan fore-silence dan personalizing silence melebur di dalam momen ketika Rambo berdiri diam selama 100 detik pertama. Batas antara “keheningan awal/pembuka” dan “keheningan yang mempersonalisasi tema” sangat halus dan sulit dibedakan—kita tidak dapat mengidentifikasi pada detik ke berapa transisi antara dua karakter keheningan itu terjadi. Namun, saat Rambo mulai melakukan sikap diam keduanya, yang 36 detik, kita sudah berhadapan dengan intervening silence.

Pola yang tercipta akibat intervening silence, keheningan yang merupakan turunan dari personalizing silence, terjadi bersamaan dengan masuknya Rambo ke tingkatan kedua pada proses pembentukan wacana, yaitu, dalam istilah Dauenhauer, tingkatan Bipolar Discourse, yang di dalamnya pewacanaan telah ditematisasi baik sebagai “wacana si penampil” dan sebagai sesuatu yang ditujukan kepada “audiens yang [juga] telah ditematisasi”. Dalam fase ini, keberadaan si penampil, sebagai subjek pengujar, dan audiens, sebagai subjek yang menyimak, telah dapat diidentifikasi. Dalam fase ini pula, prioritas antara “gagasan yang hendak diujarkan si seniman (lewat aksi)” dan “keberadaan audiens yang akan menyimak ujarannya” menjadi sesuatu yang mau tak mau dipertimbangkan dalam aksi pewacanaan. Menurut saya, pada tingkatan inilah Rambo mulai bermain-main dengan makna. Pada satu sisi, ia bermain dengan “kue” (yang materi riilnya tidak ada di tempat, tetapi sebagai objek, juga makna, keberadaannya diciptakan melalui intervensi tertentu atas tubuh). Pada sisi yang lain, ia bermain dengan “pesta”, serta pada sisi bagaimana audiens akan mencernanya. Rambo menarik-ulur pemahaman dan ekspektasi audiens mengenai tanda “kue” dan tanda “pesta” di antara pengertiannya dalam kesepakatan sosial dan pengertiannya dalam artikulasi subjektif si seniman. Dengan kata lain, ialah antara “kue pada umunya” (sisi audiens) vs “tubuh-kue” (sisi si seniman). Tarik-ulur yang dimaksud terjadi pada sikap diam Rambo yang ia lakukan sebanyak empat kali; sikap diam yang menciptakan keheningan, intervening silence, sekaligus membentuk irama tertentu. Menurut Dauenhauer, irama yang terasa pada keheningan jenis inilah yang akan menentukan bagaimana audiens terlibat ke dalam peristiwa ujaran. Dalam kasus Rambo, sikap diamnya adalah modus untuk melibatkan audiens. Perhatian audiens terhadap aksi Rambo bisa terbangun akibat sikap diamnya yang terpola dan sangat intens. Dan dengan terlibatnya audiens ke dalam cakupan peristiwa ujaran dan suasana aksi, akhirnya, kutub pengarang (seniman) dan kutub audiens menjadi signifikan. Tatkala si penampil menyadari adanya dua kutub tersebut, yaitu sisi audiens dan sisi pengarang (seniman), maka “situasi soliloquy” pada diri si seniman berubah menjadi “situasi monolog” (karena sudah mengandaikan adanya audiens—pendengar).

Dalam proses pembentukan wacana dalam kerangka keheningan yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, seniman awalnya mempunyai klaim tertentu atas gagasan, atas wacana yang diniatkannya. Rambo mempunyai klaim atas “wacana pesta ulang tahun” (versi dirinya). Namun, karena permainan makna yang dilakukannya, secara prinsipil, telah membuat audiens menjadi terlibat ke dalam pusaran peristiwa artistik, peran audiens sebagai subjek yang sebenarnya juga bisa melakukan tematisasi pun menjadi penting. Klaim atas wacana menjadi bergeser, tidak lagi hanya menjadi milik si penampil. Dari keadaan “bermonolog” itu, terjadi cut atau pemenggalan atau “keheningan” yang ketiga, yaitu interpersonalizing silence, yang mengubah bentuk monolog menjadi dialog. Keheningan yang terjadi pada tahap ini membuka ruang bagi orang lain untuk berkomunikasi dengan Rambo.

Terjadinya interpersonalizing silence juga berarti si seniman telah mengubah topik, sekaligus mengubah [peran] audiensnya. Dalam konteks It’s My Party, sikap diam Rambo yang terpola itu justru tengah memicu makna baru, dan membuka ruang tanggapan, atau bahkan memberi kuasa, bagi audiens untuk mengalami cut-nya sendiri. Dari sisi si penampil, interpersonalizing silence yang dijalaninya akan mengubah topik It’s My Party, dalam arti: berubahnya “kue” dan “pesta” yang dideterminasi sebagai topik awal menjadi “tubuh-kue” dan “ritual” sebagai bentuk janggal terhadap topik awal tersebut. Interpersonalizing silence mengubah audiens, dalam arti: audiens juga dapat memainkan peran yang awalnya hanya dimiliki si penampil. Ketika sudah terlibat dalam peristiwa ujaran, audiens bisa melakukan sikap heningnya sendiri, atau, untuk kasus yang radikal, mereka bisa saja benar-benar memenggal proses menyimak peristiwa karya dengan cara pergi meninggalkan pertunjukan yang sedang berlangsung. Pada kasus It’s My Party, kita dapat memahami bahwa interpersonalizing silence terjadi dalam situasi yang menumpuk dengan intervening silence yang dilakukan oleh Rambo. Ketika Rambo bersikap diam selama beberapa detik, pada momen itu pulalah audiens, sadar tidak sadar, melakukan sikap heningnya masing-masing. Jika proses menyimak karya yang dialami audiens itu berlanjut (mereka tidak memilih untuk pergi meninggalkan pertunjukan), maka seterusnya si penampil bersama-sama dengan audiens akan masuk ke tingkatan ketiga dalam proses pembentukan wacana, yaitu, dalam istilah Dauenhauern, Codiscourse.

Codiscourse adalah tingkatan terakhir pada proses pembentukan wacana, yang di dalamnya pemenggalan atau keheningan keempat, yaitu deindividualizing silence, berlangsung. Baik si pengujar (si penampil; si seniman) dan si pendengar (audiens) mengalami keheningan yang sama, bersama-sama. Terlepas dari apa pun bentuk aksi yang dilakukan oleh masing-masing pihak, mereka akan mencapai suatu bentuk ujaran yang sama. Menurut Dauenhauer, dalam tahap ini, keheningan jenis ini dapat terjadi karena didorong oleh spontanitas dan pengalaman-pengalaman pra-predikatif (kemungkinan-kemungkinan yang belum dipastikan dan ditemakan) atas fitur-fitur umum dari referensi yang dirujuk oleh para peserta peristiwa (si seniman dan audiensnya) dalam ujaran yang mereka capai tersebut. Dalam konteks It’s My Party, referensi yang dimaksud adalah objek kue dan pesta, dan ujaran yang mereka capai adalah keheningan kolektif saat menyimak aksi performatif Rambo yang tampil dalam bentuk “tubuh-kue” dan membangun situasi pesta yang sakral (non-riuh-gembira)—“pesta liturgis”.

Deindividualizing silence di dalam konteks bentuk dari It’s My Party menegaskan hilangnya polarisasi antara si penampil dan audiens yang sebelumnya otonom. Konstruksi utuh karya ini, mulai dari sikap-sikap diam Rambo yang memicu hening dengan durasi berbeda-beda, hingga aksi-aksi yang bergerak yang menghasilkan suara, serta keheningan khusus yang muncul dari audiens, adalah elemen-elemen yang mengatur sebuah bentuk keheningan lain yang bersifat intersubjektif. Mereka tidak diam masing-masing, tapi diam bersama-sama. Bergema dengan “situasi liturgis”, karena pada aspek tertentu “diam kolektif” ini mengingatkan kita pada liturgical silence, keseluruhan kejadian ujaran pada tingkatan ini menghasilkan sebuah struktur yang serupa dengan deep silence.

Namun, sebenarnya, apa yang tengah kita duga sebagai deep silence dalam It’s My Party lebih tepat disebut sebagai cut yang terakhir, yang oleh Dauenhauer diistilahkan sebagai terminal silence (‘keheningan akhir’). Keheningan ini berkaitan dengan aspek-aspek after-silence, yaitu suatu fase pencernaan (oleh semua peserta wacana, baik si penampil maupun audiens) karena mereka telah menyadari adanya kesia-siaan untuk memperpanjang ujaran apa pun (entah bersuara entah hening).

Kita bisa beranggapan bahwa jenis keheningan yang terakhir ini adalah keheningan yang ada pada lapisan di luar struktur konsekutif aksi Rambo. Dia bukanlah keheningan yang mewujud dalam sikap diam Rambo, ataupun dari keheningan penonton, melainkan efek dari semua situasi itu. Keheningan ini bisa dibilang adalah puncak dari “momen wacana” It’s My Party, yang bisa dirasakan sebagai efek, misalnya berupa suatu usikan, atau kejutan; efek yang bisa memicu kritisisme atau bahkan skeptisisme dalam diri semua peserta peristiwa ujaran/wacana terhadap topik yang ditematisasi sejak awal dan perubahan-perubahan makna yang dihasilkannya melalui permainan aksi performatif yang telah berlangsung. Poinnya di sini, ialah, bukan tentang apa arti dari peristiwa seni performans tersebut, tetapi sejauh mana peristiwa seni performans itu akan mengusik daya cerna orang-orang yang menyimaknya.

Menurut Dauenhauer, “keheningan awal” membangun jarak antara tindakan piktorial (menggambarkan objek) dan tindakan perseptual (mempersepsikan objek), dari sisi performans saat masih sengaja mengarah pada atau merujuk objek (intentional), menuju sisi saat performans itu telah menjadi sesuatu yang bersifat tanda (signitive).

Saat Rambo melakukan tematisasi (mempersonalisasi topik), di situ terjadi sebuah proses yang mempersepsikan gambaran “kue” dan “pesta ulang tahun” yang ia tangkap atau rujuk sebagai “kue saya” dan “pesta ulang tahun saya yang khidmat”. Saat Rambo membangun pola hening lewat sikap diam sebanyak empat kali, dalam rangka mengartikulasikan persepsinya itu, di situ terjadi suatu proses penandaan, atau fase signitive performance, yang mana tindakan terpolanya adalah gambaran yang ditangkap audiens untuk akhirnya dipersepsikan kembali oleh mereka. Jarak antara “tindakan penggambaran-persepsi” dan “tindakan penandaan” ini demikian penting. Sebab, keheningan yang dilakukan tersebut, sadar tidak sadar, adalah bagian dari upaya memahami dan menjelaskan, daripada sekadar menyajikan deskripsi tentang objek “kue” dan “pesta ulang tahun”.

Sementara itu, masih menurut Dauenhauer, “keheningan akhir” justru semakin menegaskan ketidakmungkinan batalnya jarak yang sudah terbangun tersebut. Dalam kasus It’s My Party, efek hening dalam “situasi liturgis” yang tercipta berdasarkan rangkaian aksi Rambo adalah hening penghabisan, yang menutup peluang-peluang tematisasi topik baru dan pemunculan ujaran-ujaran lainnya. Bahwa, “tubuh-kue” dan “pesta sakral” adalah bentuk utuh dari sebuah persepsi, bukan sekadar gambaran; suatu bentuk yang telah menjadi tanda, dan bukan sekadar ilustrasi tentang objek yang dipahami menurut konsensus. Apa yang ditampilkan merupakan ide baru yang justru menandingi konsensus tentang “kue” dan “pesta”. Terminal silence, menurut Dauenhauer, adalah fase pascapredikatif, atau bisa kita sebut fase interpretasi final. Pada fase inilah karya seni performans Rambo resmi menjadi wacana, menjadi sistem tanda terkait—alih-alih simbol dari—”kue” dan “pesta”.

Merefleksi upaya pembacaan analitik yang telah saya coba terapkan terhadap karya ketiga Rambo, It’s My Party ini, berdasarkan teori yang diajukan Dauenhauer, agaknya kita dapat mempertimbangkan kembali signifikansi dari memahami konsep intensionalitas (‘kesengajaan’—atau ‘fakta dari meniatkan atau mengarah ke sesuatu’) sebagai suatu kegiatan batin, demi mempelajari kerja pikiran dalam hubungannya dengan objek. Menurut saya, aspek ini dapat menawarkan cara pandang berbeda terhadap modus-modus representasi, yaitu—dengan meninggalkan penjelasan a la “representasionalis”—kita justru berpeluang untuk meninjau struktur karya sebagai sebuah sistem dari ragam proposisi yang saling terkoneksi dalam hubungan-hubungan inferensial: dapat disimpulkan berdasarkan nalar, bukan berdasarkan kecocokan-kecocokan sederhana semata, dan tidak terpaku pada hal-hal fisik sebagai bukti dasar.

Karya seni performans It’s My Party-nya Rambo, bisa dibilang, merupakan semacam noema dalam pengertian fenomenologis Husserl, sedangkan aksinya untuk merujuk objek kue dan pesta, merupakan noesis. Dalam konteks ini, representasi dapat dilihat sebagai suatu gaya ungkap yang tidak melulu harus dilandasi oleh keberadaan fisik suatu objek, karena analisa inferensial fenomenologis memungkinkan kita untuk memikirkan dan lantas menyajikan objek-objek imajinatif yang tak ada dalam dunia fisik kita. Imajinasi pun dapat menjadi landasan dan alam bukti bagi kerja dari sebuah bahasa (atau sistem penandaan). Dengan kata lain, bagaimana wujud asli dari “kue personal” Rambo dan “pesta a la Rambo”, itu tak lagi menjadi soal.

Sebab, menurut saya, yang lebih patut diamati justru, pertama, aspek-aspek (atau elemen-elemen) pada tataran noetic-nya. Bahwa, agaknya, Rambo, jika kita mengutip deskripsi karya yang ditulis oleh seniman, tengah mengingat dalam rangka mengumpulkan kepingan-kepingan pengalaman personalnya, lewat suatu aksi (intentional act) yang merujuk suatu objek (intentional object). Tapi, ada kemungkinan pula bahwa aksi tersebut bukanlah “mengingat”; bisa saja itu aksi “memahami”, “mengevaluasi”, atau apa pun. Sementara itu, modus yang dipilih Rambo (entah untuk “mengingat”, “memahami”, “mengevaluasi”, atau apa pun itu), yang di dalamnya pikiran tentang kue dan pesta ulang tahun itu dipresentasikan untuk dirinya sendiri (menjadi konten), untuk kemudian ditransmisikan ke audiens, adalah seni performans. Dengan menyadari modus yang dipilih si seniman, maka kita selanjutnya patut mengamati hal yang kedua, yaitu tataran noematic-nya.

Berbicara tentang noema (atau intentional content: konten yang dimaksudkan, yang dihantarkan, yang ditransmisikan ke publik, atau yang hendak diwacanakan), berarti juga memikirkan bagaimana caranya agar seni performans ini, yang bersifat sangat personal, dapat dinikmati bukan hanya oleh si seniman sendiri tetapi juga oleh  audiens. Bagi Rambo, bermain-main dengan makna benda dan kehadiran tubuh, dengan sebuah pola keheningan yang diwujudkan melalui sikap diam tubuh, adalah sebuah pilihan artistik yang menyempurnakan aspek noematik dari karyanya ini.

Dengan cara begitu, kita dapat menikmati karya sebagai sebuah sistem kerja; memahami bahasa dalam konteks bagaimana ia dituturkan, sehingga terbuka bagi kita ruang interpretasi yang demikian luas, daripada sekadar menuntut makna-makna absolut yang tak bisa diganggu gugat.

Pada dasarnya, analisa intensional menurut skema noeticnoematic yang dikembangkan oleh Dauenhauer berdasarkan pemikiran Husserl ini, dapat kita terapkan juga pada hampir semua karya seni, terkhusus lagi seni performans, karena disiplin seni yang satu ini memang begitu kuat mempersoalkan pengalaman tubuh dan perseptual. It’s My Party menjadi penting, dan terbilang tepat sebagai contoh yang mendasar dalam upaya melatih penerapan teori Dauenhauer karena, mempertimbangkan fisiognomi karyanya, “peristiwa hening” adalah elemennya yang utama. *

Bibliografi

Dauenhauer, Bernard P. Silence: The Phenomenon and Its Ontological Significance. Indiana University Press, 1980. Project MUSE https://muse.jhu.edu/book/84734.

“Edmund Husserl: Intentionality and Intentional Content”, oleh Andrew D. Spear, The Internet Encyclopedia of Philosophy, ISSN 2161-0002, https://iep.utm.edu/huss-int/, 5 Januari 2020.

Bindeman, Steven L. (ed.). Silence in Philosophy, Literature, and Art. Leiden; Boston: Brill-Rodopi, 2017.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search