KALAU ADA YANG bertanya-tanya, “Seperti apa, sih, contoh karya seni performans yang 69 banget itu…?”, saya akan menjawab: “Tertusuk 1000 Jarum-nya Hanif!”
Jawaban saya itu merujuk pada salah satu karya seni performans ciptaan Hanif Alghifary, yaitu karya yang di dalamnya ia beraksi menggunakan payung dan selang air. Mengamati kembali tampilan karya tersebut, kita seakan mendapati salah satu tapak tilas penting dalam perkembangan estetika bentuk dari seni performans yang dieksperimenkan oleh 69 Performance Club. Orang berjongkok di bawah “payung hitam yang meneteskan air hujan dari dalam”, adalah salah satu penampilan ikonik yang pernah diproduksi platform ini. Menurut saya, inilah karya seni performans Hanif yang bentuk visualnya paling terkenal dan paling diakrabi.
***
Dokumentasi karya seni performans berjudul Living Room’s Supper (2016) karya Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng).
Hanif pertama kali menerapkan modus performans dengan menggunakan payung, bangku, selang, dan air pada tahun 2016 di dalam karya seni performansnya yang ketiga, berjudul Living Room’s Supper. Karya ini menjadi salah satu yang dipresentasikan dalam kuratorial Hafiz, bertajuk Transmitted Delusion, di Forum Lenteng, Jakarta, pada tanggal 6 Maret.
Melalui kuratorial itu, Hafiz memprovokasi para seniman untuk mengungkai ungkapan-ungkapan performatif tentang “kenyataan baru” yang melampaui kenyataan, menggunakan apa yang ia sebut “rekaman-rekaman” dari kenyataan kita, salah satunya benda-benda dalam kehidupan sehari-hari. Hanif menanggapinya dengan mempertontonkan peristiwa atau aktivitas di luar kebiasaan: bukannya untuk melindungi badan dari air hujan, ia menggunakan payung untuk menahan atau membatasi cakupan pergerakan air di udara—air itu sendiri disemprot menggunakan selang—agar kembali jatuh ke tanah, mengenai dan membasahi badannya yang menggunakan payung tersebut.
Jika melihat dengan saksama video dokumentasi yang tersedia, kita bisa menjabarkan peristiwa artistik Living Room’s Supper sebagai berikut:
Hanif—mengenakan pakaian yang identik dengan setelan seorang pekerja kantoran di lingkungan perkotaan—mula-mula berdiri di dekat sebuah bangku setinggi paha. Di sisi bangku, ia sudah menyiapkan sebuah payung berwarna hitam yang masih terlipat dan sebuah selang air yang tersambung ke sumber kran (tapi belum dinyalakan). Hanif lalu menaiki bangku itu; ia memilih pose jongkok dengan kaki berjinjit. Permukaan area lantai, di posisi mana bangku itu berdiri, tidak rata sehingga bangku bergoyang-goyang ketika menahan beban tubuh Hanif. Sementara itu, kaki Hanif yang menggunakan sepatu pantofel memenuhi sebagian besar area dudukan bangku yang relatif sempit. Pose dari aksi ini, meskipun dengan persentase kecil, memungkinkan keterjadian yang lain, disengaja atau tidak: tubuh Hanif mungkin bisa terjatuh dari bangku jika ia gagal menahan keseimbangan.
Setelah pose jongkok-jinjitnya mantap, Hanif membuka payung. Awalnya, ujung payung itu mengarah ke penonton di depannya. Kita lihat tubuh Hanif tersembunyi di balik payung hitam. Tak lama kemudian, kita mendengar suara selang air menyala. Hanif menegakkan payung itu perlahan sesaat setelah kita melihat air menetes ke lantai. Ia memegangnya dengan posisi yang lazim sebagaimana orang menggunakan payung, tapi pose jongkok-jinjitnya tidak berubah. Ternyata, Hanif menggenggam tangkai payung dan selang air (yang mengarah ke atas) secara bersamaan dengan satu tangan. Langit-langit payung menahan air yang memancar ke udara; air kembali jatuh ke bawah, membasahi tubuh Hanif. Selama beberapa menit kemudian, kita menyaksikan peristiwa dari “hujan di dalam payung”—bait puisi Otty Widasari yang dikutip Hanif dalam deskripsi karyanya.
Dokumentasi karya seni performans berjudul Living Room’s Supper (2016) karya Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng).
Video dokumentasi yang kita saksikan di laman ini berdurasi enam menit tiga puluh detik. Akan tetapi, Hanif faktanya menahan pose tersebut selama lebih/kurang dua puluh menit—“Pokoknya sampai gue kelelahan, deh!” katanya—sebelum menjatuhkan badan [atau terjatuh???] ke dekat penonton, melepaskan dirinya dari persentuhan dengan bangku, payung, dan selang air.
Peristiwanya belum berakhir sampai di situ. Audiens kemudian masih diberi kesempatan untuk menyaksikan semacam tablo singkat yang agak mengesankan kepiluan: sebuah tubuh kuyup terbujur dengan kaki tertekuk kaku di lantai yang basah; kepalanya tidak terlihat karena terhalang sebuah payung hitam terbuka yang menggolek di sampingnya; sedangkan sebuah bangku yang tergeletak di dekat kakinya, menghimpit sebuah selang air yang masih menyala.
Adegan terakhir dari urutan peristiwa ini baru benar-benar disadari selesai saat Hafiz, sang kurator, bertepuk tangan dari sisi audiens. Hanif kemudian berdiri, menyudahi aksi performatifnya.
***
Dokumentasi karya seni performans berjudul Living Room’s Supper (2016) karya Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng).
Sepintas, aksi Hanif dan peristiwa yang dihasilkan dari aksi-nya tersebut tampak dan terasa liris; seakan merangkul Simbolisme dalam hal bagaimana ia mengesankan penciptaan suasana bernada elegiak, baik yang berasal dari dalam, atau yang berada pada, maupun yang menyebar di sekitar suatu tindakan lamunan berhalimun atau penantian yang bijak dan hening. Kesan Simbolik karya ini, jika kita masih ingin menilainya dari sisi itu, juga dapat ditakar dengan memahami secara empatik niatan aksinya. Alih-alih sekadar memaparkan (‘to describe’) sentimentalitas ataupun ironi terkait fakta-fakta keseharian dan narasi-narasi historis, karya ini justru membangkitkan (‘to evoke’) sebuah kepekaan yang berlaku kritis terhadap kelaziman, pada satu sisi, dan sebuah kesadaran terhadap “yang Ideal” sebagai tujuan dari proses perenungan akan sebuah isu, pada sisi yang lain.[1]
Dokumentasi karya seni performans berjudul Living Room’s Supper (2016) karya Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng).
Living Room’s Supper, sebagaimana dapat dilihat, mengekspresikan “yang Ideal” dengan menjungkirbalikkan pemahaman konvensional kita atas fenomena keseharian. Sebagaimana Simbolisme meyakini tujuannya di dalam seni, saya kira Hanif memilih objek yang darinya suatu bentuk jiwa—baik yang ada pada dirinya, yang ada pada isu yang dibicarakannya, ataupun yang ada pada hubungan di antara keduanya—dapat ditengarai, tapi secara bersamaan juga membangkitkan “suatu objek” (konseptual) dalam rangka mengungkapkan keadaan jiwa tersebut. Secara fisiognomis, payung hitam dalam karya ini menempati “fungsi dari sang Simbolis” (Symbolist function)[2]: keberadaannya, sulit untuk disangkal, menarik suatu indikasi tertentu tentang peng-Ideal-an karsa dalam membicarakan dan meningkatkan pengartian kita atas penampakan polos dari “simbol aktivisme” (symbol of activism) ataupun “aksi simbolik” (symbolic action) yang telah dikenal umum dalam konflik dan kontestasi sosial-politik kontemporer negeri kita: Aksi Kamisan.
Perlu digarisbawahi, aksi presentatif Hanif memang masih mengamini perihal representatif. Akan tetapi, karena nuansa simbolisme yang dibawanya, karya ini terasa lebih menekankan apa yang oleh Mallarmé disebut “penggambaran (depiction) suatu efek yang mungkin dapat diproduksi dari sebuah objek,”[3] atau yang muncul lewat perlakuan tertentunya atas objek tersebut. Apa yang direpresentasikan dalam karya ini, jika demikian, adalah emosi atas fenomena keseharian ketimbang fenomena itu sendiri.
***
Hanif menampilkan kembali karya seni performans dengan modus serupa pada tanggal 16 Desember 2016 di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta. Tapi ia menggunakan judul yang berbeda, yaitu judul yang saya sebut di awal tulisan: Tertusuk 1000 Jarum, dan melakukan modifikasi pada aspek objek yang digunakan dan bentuk aksi yang dilakukan.
Ia mengenakan pakaian serba hitam; ia mengganti bangku dengan drum. Ia juga mengatur agar sebuah cahaya disorot dari belakang badannya selama ia beraksi. Di momen Hanif bersembunyi di balik payung dalam posisi ujung payung mengarah ke penonton, sorotan cahaya dari belakang badannya menciptakan siluet “pose tubuh yang tengah berjongkok-jinjit” pada permukaan payung yang [ternyata] berwarna hitam transparan. Hanif mengubah pose jongkoknya dengan pose berdiri saat mengangkat payung itu (saat ia mengarahkan ujungnya ke atas) sebelum kembali bergerak pelan-pelan ke pose jongkok-jinjit. Versi kedua ini ditampilkan pada malam hari, dan modifikasi yang dilakukan Hanif agaknya bertujuan untuk memperkuat efek dramatik performansnya—pastinya untuk menanggapi visi kuratorial yang dibawa acara itu. Tapi, di ujung performans versi kedua ini, tidak ada peristiwa jatuhnya badan dari atas drum.
Versi ketiga, menggunakan judul Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan, dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2017 di depan Istana Negara, Jakarta. Konon, performans versi ini adalah presentasi dalam rangka solidaritas bersama para aktivis HAM yang, saat itu, telah menyelenggarakan Aksi Kamisan ke-500.[4]
Pada hari itu, Hanif (yang juga menggunakan pakaian serba hitam) kembali menggunakan bangku alih-alih drum. Akan tetapi, dalam urutan aksinya, ia lebih banyak berdiri. Ia juga tidak menjatuhkan diri saat mengakhiri performansnya. Sementara dua versi sebelumnya, yang diselenggarakan di “ruang seni”, mengandaikan apresiasi publik yang lebih erat hubungannya dengan wacana eksperimental, versi ketiga ini menegaskan relevansi tematik karya karena diadakan di ruang publik yang merupakan situs spesifik bagi produksi wacana terkait isu yang sedang dibicarakannya. “Ruang relevan” yang melatari Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan memberikan konteks baru pada watak karya: pengekspresian “yang Ideal” bergerak secara nyata dari pernyataan artistik menuju aksi politik aktual.
***
Dokumentasi karya seni performans berjudul Living Room’s Supper (2016) karya Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng).
Jika kita kembali mencoba menganalisa karya ini dari sudut pandang ungkapan performatif, yang berarti kita juga akan berbicara perihal “tindakan sebagai sebuah bahasa” atau “upaya mengurai sistem kebahasaan”, kita bisa berargumen bahwa Living Room’s Supper menerapkan “keganjilan” sebagai metode untuk memahami sisi lain dari dunia keseharian kita. Sisi lain yang saya maksud di sini adalah “realitas simbolik”, yaitu wujud dunia yang di dalamnya kita menyerap dan mencerna segala informasi—yang pada prosesnya akan kita ubah menjadi makna, atau motif, atau bahkan emosi—melalui jejaring simbol. Peraihan makna, motif, ataupun emosi melalui jejaring simbol itu, tentunya, dapat terkonstruksi secara sosial, tetapi juga bisa dihidupkan lewat daya-daya yang lain, misalnya politik ataupun seni.
Apa yang dispekulasikan Hanif dengan Living Room’s Supper adalah distorsi utilitas atas objek untuk mendeviasi simbol yang secara sosial telah menjadi “identitas diskursif” objek tersebut. Di sini, kita bisa fokus pada objek payung. Dalam rangka deviasi tersebut, Living Room’s Supper mempelintir dua konvensi tentang utilitas objek, masing-masing pada dua lapisan (layer) representasi simbolik yang berbeda—dan pada dua lapisan inilah “metode keganjilan”-nya bekerja, berupa “keganjilan bentuk” dan “keganjilan aksi”.
Pertama, konvensi utilitas pada lapisan representasi yang kita akrabi dalam kehidupan sehari-hari. Di lapisan ini, kita secara sosial memahami objek berdasarkan fungsi aslinya. Payung, misalnya, berguna untuk melindungi diri dari cuaca yang buruk. Payung, dengan demikian, dapat dilihat sebagai simbol perlindungan. Hanif mendeviasi simbol itu dengan mendistorsi penggunaan payung: bukannya menangkal hujan, payungnya Hanif malah menegaskan bagaimana orang yang berlindung di bawahnya malah basah kuyub, karena “air hujan” justru turun di dalam payung itu. Apa yang dilakukan Hanif pada lapisan ini, sebenarnya, memuat motif yang serupa dengan apa yang dikehendaki oleh para aktivis HAM dengan payung-payung yang mereka gunakan: payung menjadi simbol yang mengantarkan makna tertentu, di luar arti objektifnya, yang melampaui pemahaman keseharian kita atas objek tersebut. Sementara Aksi Kamisan memposisikan payung sebagai simbol protes, kita bisa berkata bahwa Hanif mengejar aspek lain dari performativitas payung itu dalam rangka membangun “simbol baru”. Dalam Living Room’s Supper, realitas simbolik lapis pertama dari payung dipelintir dengan mengganjilkan penggunaanya, mentransfigurasi watak faktual objek tersebut menjadi bagian dari realitas artistik.
Kedua, konvensi utilitas pada lapisan representasi yang kita kenali berdasarkan konteks sosiopolitik sezaman. Di lapisan ini, kita (karena konteks yang ada) memahami objek berdasarkan wacana tertentu yang berkaitan dengan objek tersebut. “Payung Kamisan”, misalnya, adalah simbol protes atau “aktivisme penantian”. Ini adalah sasaran Hanif dalam usaha deviasi lapis keduanya. Bersamaan dengan keberlangsungan deviasi pada lapisan pertama, Living Room’s Supper juga mendeviasi konvensi mengenai “Payung Kamisan”. Membingkai narasi tentang “Aksi Kamisan” dan isu HAM, Living Room’s Supper memampatkan konsep “penantian” ke dalam suatu durasi performatif, sembari memancarkan sebuah visi yang berorientasi spektatorial. Dalam kerangka karya ini, “penantian” bukan lagi semata milik si seniman ataupun para aktivis (subjek-subjek pengguna simbol “payung”), tetapi dibangkitkan ke hadapan penonton. Konsepsi politis dari penantian dihadirkan sebagai sebuah pengalaman emosional untuk audiens. Realitas simbolik lapis kedua dari payung (yaitu, “Payung Kamisan”) dipelintir dengan mengganjilkan “fungsi politik”-nya, mentransfigurasi jiwa konseptual objek tersebut menjadi bagian dari realitas yang di dalamnya politik estetika dapat menjadi tujuan, dan politisasi seni dapat menjadi cita-cita.
Dokumentasi karya seni performans berjudul Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan (2017) karya Hanif Alghifary. (Foto: Forum Lenteng).
Tatkala Living Room’s Supper menjelma ke dalam versi ketiganya, menjadi Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan, bagi saya karya ini semacam memasuki tahap awakening, di mana Hanif menerabas batas-batas kaku dari “performans simbolik”. Living Room’s Supper menempati tataran ungkapan performatif untuk mengekspresikan “yang Ideal” mengenai isu HAM dan fenomena Aksi Kamisan (dalam ukuran subjektif si seniman), sedangkan Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan mengembalikan potensialitas dari khitah aksi performatif: unjuk rasa, senyata-nyatanya.
Berbelok dari bangunan simbolik yang ada pada versi awalnya, di mana “yang Ideal” adalah apa yang dicita-citakan, Hanif menjadikan “yang Ideal” sebagai sesuatu yang dapat diterapkan secara riil dalam Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan. “Yang Ideal” dalam tahapan ini adalah konkretisasi fungsi seni performans, yang mesti bersifat langsung, dan yang bisa menghancurkan garis batas antara “ketertontonannya” dan “keterlibatannya” secara sosial.
Penjelmaan seni performans sebagai unjuk rasa, dalam konteks tersebut, mengonkretkan keintiman antara seni dan masyarakat; ia beranjak dari ego artistik yang menekankan eksperimen demi tujuan seni belaka. Hanif mengeluarkan seni performans dari ranah elite menuju ranah di mana ia dapat menjadi bagian dalam pertarungan (konflik) sosial. Simbolisme didekonstruksi; kebenaran sejati tidak lagi berada di dalam/balik simbol, melainkan pada proses kehadiran dan keterlibatan subjek dalam gerakan kolektif, yang melaluinya emosi berosilasi di antara representasi dan presentasi. Proses perenungan isu (atau “penantian” dalam sudut pandang Aksi Kamisan) lantas bukan lagi mengandaikan “yang Ideal” sebagai satu tujuan akhir, sesuatu yang berada di ujung. Sebab, dalam tahapan versi ketiga karya ini, proses perenungan dan penantian (atau mungkin juga pengingatan) itu sendirilah yang diafirmasi sebagai “aksi Ideal”; sebuah proses yang memanifestasikan politik seni—juga seni sebagai bagian dari politik.
Tapi, lagi-lagi, karena bagaimanapun ini adalah karya seni performans, keintiman yang coba dibangkitkan Hanif, baik terhadap masyarakat yang menanti maupun terhadap aksi penantian itu sendiri, dirangsang—kalau bukan diganggu—dengan keganjilan pula: Hanif menghadirkan “hujan di dalam payung” di antara payung-payung hitam kamisan. *
Endnotes:
[1] Perbedaan antara “mendeskripsikan” dan “membangkitkan” ini merupakan pengertian dasar dari Simbolisme. Gagasan soal objek sebagai pengidentifikasi jiwa, atau medium untuk membangkitkan “objek” (konseptual) untuk mengungkap jiwa, adalah pengertian sebagaimana yang dipaparkan oleh Mallarmé. Lihat Edward Hirsch (2017), The Essential Poets Glossary, Mariner Books. Hlm 314. Dikutip dari Wikipedia Bahasa Inggris, “Symbolism (arts)“.
[2] Bedakan kata “symbolist” (yang merujuk kepada Symbolism) dengan kata “symbolic” (yang merujuk pada sifat ke-simbol-an, tetapi belum tentu berkaitan dengan paradigma Symbolism).
[3] Conway Morris, Roderick “The Elusive Symbolist movement” – International Herald Tribune, 17 March 2007. Dikutip dari Wikipedia Bahasa Inggris, “Symbolism (arts)“.
[4] Kompas mencatat bahwa Aksi Kamisan ke-500 terjadi pada tanggal 27 Juli 2017. Sementara itu, arsip 69 Performance Club dan video dokumentasi Tertusuk 1000 Jarum – Aksi Kamisan mencatat bahwa versi ketiga dari performans yang menggunakan payung dan selang air ini dilakukan dan ditampilkan di depan Istana Negara pada tanggal 3 Agustus 2017. Namun begitu, di bagian credit dari video dokumentasi, tertera keterangan: “Aksi Kamisan 500, Depan Istana Negara, 3 Agustus 2017”. Terlepas apakah perbedaan tanggal ini disebabkan oleh kesalahan redaksional atau tidak, tapi kita bisa mafhum bahwa Hanif agaknya meniatkan agar karya seni performansnya kala itu tetap menjadi bagian dari momentum ke-500 Aksi Kamisan.