In Review

PERSOALAN KOMUNIKASI, barangkali, menjadi perhatian utama Taufiqurrahman “Kifu” dan Maria Deandra sejak karya kolaborasi pertamanya yang berjudul Hello, Red hingga dua karya terakhir yang telah mereka hasilkan. Hal ini bisa ditarik lebih jauh kaitannya dengan latar belakang Taufiqurrahman “Kifu” atau yang akrab dipanggil Ufik, sebagai desainer grafis yang mengenyam pendidikan komunikasi dan Maria Deandra atau Andra, sebagai mahasiswi jurusan filem dan televisi. Keduanya menekuni bidang media yang erat kaitannya dengan seni. Bagi saya yang telah mengikuti jejak pengkaryaan mereka sejak kolaborasi pertamanya, tentu latar belakang mereka menjadi penting untuk diperhatikan sebelum membaca lebih jauh tentang substansi yang mereka ingin munculkan melalui karya-karya kolaborasinya. Pembacaan ini tidak dapat diabaikan apabila kita berbicara tentang subyektifitas dalam kerja-kerja berkesenian. Bagaimana suatu persoalan, atau isu, yang dianggap penting oleh seniman berangkat dari pengalaman personal yang bersifat “menubuh”.

Pada karya kolaborasi kedua yang berjudul Typing, mereka berangkat dari persoalan yang mereka alami sehari-hari. Konsep bahasa sebagai kesepakatan direlasikan dengan tubuh. Medium kursi dan tali, seperti saluran komunikasi akan menghubungkan tubuh Ufik dan Andra, yang kemudian harus menguji koordinasi tubuh mereka untuk mencapai sebuah kesepakatan. “THE QUICK BROWN FOX JUMPS OVER THE LAZY DOG”. Paragram yang memuat seluruh huruf alfabet inggris tersebut umum digunakan untuk menguji mesin ketik/keyboard komputer atau tampilan font dalam desain.

Konsep “menguji” di sini menjadi bingkai utama dalam performans ini. Mereka satu sama lain duduk dan menarik kursi yang menghadap penonton ke arah yang berseberangan dengan mengandalkan tali yang mengikat kedua kursi tersebut untuk mencapai keseimbangan. Kurang lebih lima belas menit mereka tak sekalipun berhasil mengucapkan paragram tersebut secara utuh sebab salah satu dari mereka terjatuh. Meski telah terjalin kesepakatan komunikasi verbal di antara mereka—yaitu bahasa ketik dalam paragram tersebut, tetapi dalam eksekusinya mereka mengandalkan bentuk komunikasi lain yang terjalin lewat kontak mata. Sebelum mereka mulai menarik kursinya, mereka saling menatap satu sama lain mencoba saling berkomunikasi untuk menyamakan momentum. Pada akhirnya, kesepakatan itu tak terjadi. Salah satu dari mereka mengambil inisiasi untuk menyudahi aksi mereka dengan memberi salam pada penoton.

Namun, kegagalan dalam mencapai kesepakatan bukan sertamerta kecelakaan dalam performans ini, sebab mereka juga menguji konsep kesepakatan—dan juga kesepahaman—dalam proses komunikasi. Dalam proses transimisi pesan, tentu terdapat gangguan, atau noise, yang mengahambat kesepahaman terjadi di antara komunikator dan komunikan. Gangguan tersebut dapat terjadi secara internal dari celah bahasa antara komunikator dan komunikannya, namun juga dapat berasal dari unsur eksternal. Dalam seni bunyi, gangguan komunikasi ini telah lama dieksplorasi dalam genre noise. Pada titik ini, saya bisa katakan bahwa Typing adalah salah satu bentuk dari noise art. Pertama, ketegangan dari performans ini terbangun oleh rangkaian kegagalan-kegagalan dalam proses komunikasi. Kedua, penggalan-penggalan kalimat yang tak utuh menjadi komposisi bunyi yang dapat ditarik logika kemunculannya.

Keputusan untuk menyudahi aksi mereka dalam percobaan yang tak kunjung berhasil juga mempunyai implikasi pembacaan yang lain. Kaitannya dengan aspek durasi dan ruang di mana perfromans tersebut dilakukan. Dalam performans yang dilakukan dalam panggung, terjadi negosiasi dengan kaidah-kaidah ruang gelap yang tidak memungkinkan bentuk performans yang berlangsung tanpa akhir, atau dalam latihan-latihan mingguan kami seringkali disebut dengan performans durasional. Sepertihalnya pertunjukan teater atau filem yang memiliki durasi tetap sehingga penonton dapat menyaksikannya secara linear. Sedangkan dalam performans yang bersifat mengujicoba tidak dapat dipastikan kapan momentum keberhasilan dari percobaan tersebut akan tercapai. Permainan waktu menjadi sangat lentur sehingga negosiasi diperlukan mengingat kaidah-kaidah ruang gelap di mana performans tersebut berlangsung. Pada akhirnya, seniman memutuskan untuk mengakhiri performansnya tanpa kemunculan momentum yang mereka tetapkan sebagai akhir dari aksi mereka. Dengan demikian, ketika kita menyaksikan persitiwa performans tersebut secara utuh, yang muncul bukanlah momentum, melainkan suatu pola repetisi, yakni kegagalan-kegagalan yang memunculkan noise, atau gangguan komunikasi, baik secara bunyi maupun secara konsepsi.

Negosiasi durasi dan ruang yang berjalan cukup alot pada gilirannya memunculkan semacam ketidaknyamanan yang dirasakan penonton. Barang tentu, kegagalan akan terjadi, mengingat bentuk performans semacam ini berorientasi pada intensitas proses yang, pada tataratan tertentu, menjalin empati antara seniman dan audiensnya agar tujuan/momentum yang telah disepakati di awal dapat tercapai. Dalam konteks performans ini, momentum yang dicapai adalah ketika kedua seniman dapat menyelesaikan kalimatnya secara bersamaan dalam posisi yang seimbang. Tujuan/momentum yang pada akhirnya tidak tercapai menggumpalkan rasa ketidaknyamanan pada benak penonton seperti saaat kita meniggalkan ruang pertunjukan noise art. Bagi saya, karya ini boleh jadi sedikit menyentil praktik-praktik seni bunyi yang akhir-akhir ini teralu sibuk mengoprek-oprek efek bunyi daripada kembali pada konsep bunyi dan komunikasi dengan cara yang sangat sederhana.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search