In Review

Suasana di Forum Lenteng ketika kuratorial “Menelisik Tubuh” disajikan ke publik seni tanggal 9 Februari 2016. (Foto: Forum Lenteng).

HADIRIN MENUNGGU APA yang akan terjadi sesaat setelah nama Abi Rama dan judul karya seni performansnya, The Absence of Body Itself (2016), diumumkan. Hafiz, orang yang mengumumkan tadi, selaku kurator pada acara pameran karya seni performans dari 69 Performance Club hari itu, bertajuk Menelisik Tubuh, menginformasikan pula bahwa Abi akan melakukan performansnya dari jarak jauh karena, faktanya, Abi tidak ada di Forum Lenteng pada tanggal 9 Februari 2016.

Lalu, terdengar suara salah seorang hadirin membacakan kalimat yang muncul di telepon genggamnya:

Dear:
Lindung

Thank you for your presence

Abi Rama – “The Absence of Body Itself” (2016)

69 Performance Club

Tak berselang lama kemudian, hadirin lain juga menerima kiriman pesan singkat berisi nyaris sama. Yang berbeda hanyalah nama si pemilik telepon genggam (“Dear, Andang…”, “Dear, Otty…”, “Dear, Rambo…”, “Dear, Hauritsa…”, “Dear, Hanif…”, “Dear, Umi…”, “Dear, Lutfi…”, “Dear, Ario…”, dst.). Mereka, yang menerima pesan-pesan itu, bergiliran membacakan isi pesan seperti yang dilakukan Lindung (orang pertama yang menerima pesan tadi).

Adakah yang beranggapan bahwa Abi memang tidak hadir pada waktu itu, saat karya seni performansnya terjadi? Atau justru sebaliknya? Apa pun itu, pada karya ini, saya kira kita bisa merenungkan sifat dan kerja tanda dalam kaitannya dengan sistem representasi dan presentasi, sekaligus kita bisa menarik sejumlah pemahaman yang berbeda-beda di ranah filsafat dalam memahami bahasa.

***

Suasana di Forum Lenteng ketika karya Abi Rama, The Absence of Body Itself (2016) berlangsung. (Foto: Forum Lenteng)

PAVEL ARSENIEV, MERUJUK tradisi filsafat klasik, menyatakan bahwa tanda adalah metode representasi, yang melaluinya kita bisa mengakses sesuatu yang ia representasikan (baik riil ataupun ideal). Saya beri contoh: keseharian kita di jalan raya. Sesuatu yang kita maknai sebagai “berhenti”, “siap-siap/hati-hati”, dan “silakan jalan” (ketiganya adalah “ide/gagasan”), misalnya, diwakili oleh warna lampu yang berbeda-beda pada APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas)—perbedaan warna merah, hijau, dan kuning bekerja sebagai suatu sistem penandaan. Ketika hijau berganti merah, ia merepresentasikan perintah “berhenti”; ketika merah berganti kuning, “siap-siap dan hati-hati”; dan ketika nyala lampu berpindah dari kuning ke hijau, itu merepresentasikan perintah “silakan jalan”. Pada contoh ini, kita bisa menyebut bahwa tanda adalah juga bahasa.

Arseniev juga menjelaskan bahwa filsafat memahami tanda (sebagai medium representasi itu) secara berbeda dari zaman ke zaman.[1] Tradisi klasik, menurutnya, menekankan adanya dualitas tanda: untuk merepresentasikan sesuatu (things), tanda “hadir” (present) dan “tidak hadir” (absent) secara serempak. Dualitas ini juga berhubungan dengan “kapasitas representatif” tanda yang ditentukan oleh keberadaan “isi” (content) dari tanda dan “kegiatan memikirkan” (act of thought) atau “kegiatan mengungkapkan” (act of utterance) isi dari tanda itu sendiri. Arseniev melanjutkan bahwa, pada era ketika positivisme berkembang lebih pesat dari sebelumnya (terutama setelah Russell dan Husserl mendeklarasikan perang terhadap “psikologisme”), “konten” dan “tindakan berpikir/mengungkap” itu dipisahkan secara radikal: konten dari pikiran/ungkapan dipahami sebagai sesuatu yang independen dari kegiatan memikirkan atau mengungkapkannya; objek pikiran diputus dari subjektivitas secara umum; dan tanda beserta kontennya menjadi fokus positivisme logis. Namun, menurut Arseniev, wacana dengan “analisa baru” pada era pascaperang kembali melirik implikasi timbal-balik antara “konten” dan “tindakan berpikir/mengungkap” (yang sebelumnya sudah diyakini oleh tradisi klasik) tersebut, tapi dengan pemahaman baru: refleksivitas (reflexivity) tanda dipahami sebagai hal yang justru menegaskan modalitas[2] suatu bahasa, dalam arti: makna ungkapan menjadi bergantung pada fakta dan keadaan-keadaan ungkapan itu sendiri; tanda juga dianggap mempunyai kesadaran atas dirinya sendiri (refleksif)[3] dan secara simultan juga mewakili sesuatu yang berbeda dari dirinya. Para filsuf bahasa pun kemudian menggeser perhatian mereka dari persoalan sekadar semantik menuju pragmatik. Secara khusus dalam tradisi yang lebih baru ini, tanda (serta sistem yang dimilikinya) tidak lagi dipahami sebagai hanya tentang representasi dari kenyataan, tetapi juga sebagai aksi otonom, yang bisa mengintervensi dan menciptakan suatu keadaan: membuat (bukan sekadar mewakili) sesuatu dengan tanda—ungkapan performatif (Lihat pemaparan lengkapnya di Arseniev, 2019: 42-46).

Nukilan singkat tentang pergeseran paradigma filsafat dalam memahami tanda dan bahasa, seperti yang saya jelaskan di atas, sedikit-banyak merupakan subject matter di dalam The Absence of Body Itself. Pada karya ini, teks (di dalam telepon genggam), tubuh yang hadir (penonton) dan tak hadir (seniman), serta peristiwa dari bergulirnya pesan melalui perangkat elektronik dan suara audiens, menurut saya merupakan jalinan tanda yang mendemonstrasikan suatu produksi dari apa yang disebut Arseniev sebagai fakta ungkapan (fact of utterance), tetapi bukan lewat peristiwa sastra, melainkan perisitiwa seni performans. Dengan kata lain, karya Abi ialah aksi dari fakta ungkapan (act of fact of utterance) ketimbang sastra fakta ungkapan (literature of fact of utterance).

***

Hadirin acara 69 Performance Club membacakan isi pesan yang dikirimkan Abi ketika karya The Absence of Body Itself berlangsung. (Foto: Forum Lenteng)

PERSPEKTIF MATERIALISTIK MEMANG sangat berguna dalam membaca karya-karya Abi. Dalam artikelnya mengenai riwayat karya seni performans Abi Rama selama satu tahun (periode 2016-2017), Prashasti Wilujeng Putri memaparkan bahwa karya-karya Abi memiliki kecenderungan untuk mengimaterialkan tubuh dari dunia riil, termasuk mengimaterialkan peristiwa dari keberadaan tubuh itu sendiri, untuk diolah menjadi presentasi yang lain sama sekali di hadapan publik.[4] Akan tetapi, menurut saya, imaterialitas tubuh dalam The Absence of Body Itself justru menegaskan materialitas tanda jika, secara konseptual, kita meletakkan kedudukan tubuh sebagai bagian dari tanda yang menjadi bahasa performatif karyanya. Untuk mendemonstrasikan “kapasitas representatif” dalam karyanya itulah, tubuh Abi, sebagai tanda, justru absent. Secara keseluruhan, karya ini memang merepresentasikan kehadiran Abi, terutama lewat isi pesan dalam telepon genggam dan bagaimana kemudian pesan itu diucapkan oleh audiens yang menerimanya, namun ketidakhadiran tubuh (yang menjadi tanda) di dalam karya ini, sebenarnya, tidak dalam posisinya untuk semata membuka akses audiens terhadap tubuh (Abi) yang direpresentasikan, tetapi juga untuk menguak kerja dari sistem representasi pada tanda yang tengah berlangsung sebagai situasi aktual dari ungkapan bahasa.

Ketidakhadiran Abi menjadi situasi yang aktif dan dilakukan sebagai bagian dari prosedur untuk memproduksi peristiwa. Ketidakhadiran ini ditegaskan dengan transmisi pesan dan, secara kontradiktif, diungkapkan lewat kata-kata, “Thank you for your presence”, yang ditujukan kepada audiens yang, di dalam fakta atau peristiwa seni performansnya, mengujarkan kata-kata tersebut. Ketidakhadiran, dengan kata lain, mengalami perubahan dalam konteks sifat dasariahnya menjadi sesuatu yang paradoks: “ketidakhadiran” itu justru “menghadirkan” sebuah peristiwa, dan karenanya, the absent is present. Jika dualitas tanda selama ini dipahami dengan cukup buram karena mekanismenya berlangsung di dalam ranah kerja otak (serebral), karya Abi mewujudkan mekanisme itu untuk dapat dipahami melalui pengalaman yang langsung.

Hadirin acara 69 Performance Club membacakan isi pesan yang dikirimkan Abi ketika karya The Absence of Body Itself berlangsung. (Foto: Forum Lenteng)

Dari sudut pandang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa The Absence of Body Itself adalah peristiwa presentasi dari representasi. Pengalaman langsung untuk menyadari atau mengakses hal-hal yang direpresentasikan (represented things); pengalaman itu menjadi bagian dari peristiwa artistik karya. Situasi ini berbeda dengan, misalnya, situasi ketika penikmat karya lukisan atau film mengakses hal-hal yang direpresentasikan. Dalam konteks kegiatan menikmati karya lukisan atau menonton film, “pengalaman mengakses” adalah milik audiens itu sendiri dan terlepas dari situasi kehadiran karya. Sedangkan dalam karya Abi ini—yang bisa dibilang menjadi salah satu contoh dari sifat karya seni performans kebanyakan—peristiwa dari pengalaman audiens yang mengakses hal-hal yang direpresentasikan karya merupakan elemen utama dari keutuhan karya seni performansnya.

Sebab, penekanan utama dari karya seni performans adalah fakta ungkapan, yaitu ketika bahasa dituturkan, peristiwa utama lantas terjadi. Dan keberlangsungan dari peristiwa yang dimaksud merupakan manifestasi dari perubahan situasi atau keadaan yang menjadi tujuan utama dari diciptakannya peristiwa. The Absence of Body Itself, dengan sendirinya, menjadi bahasa yang performatif—ungkapan performatif (performative utterance)—karena membuat tubuh Abi “hadir” secara representatif, membuat “ketidakhadiran tubuh”-nya menjadi suatu presentasi, menegaskan immaterialitas tubuhnya sebagai fakta, mengimaterialkan tubuhnya menjadi material tanda, memposisikan kata-katanya (lewat pesan di telepon genggam) sebagai peristiwa, dan mengubah posisi audiens menjadi bagian dari peristiwa produksi yang aktif (sehingga juga menjadi ko-produsen) bagi karya ini, serta mengubah situasi “menunggu” dan “mendapatkan pesan” menjadi peristiwa performatif. Itu semua, apa yang dapat kita sebut sebagai “perubahaan keadaan dan situasi”, terjadi tepat di saat teks-teks pesan elektronik bergulir dari jari Abi yang menekan tombol di alat komunikasi elektroniknya, dan berlangsung terus saat pesan-pesan itu diterima audiens dan lalu dibacakan, hingga pesan terakhir terkirim dari tempat Abi berada dan dibacakan di tempat karya seni performans itu disajikan ke audiens.

Dengan The Absence of Body Itself, Abi beraksi menciptakan “fakta dari ungkapan” dan, sebagai konsekuensinya, menjadi “aksi dari fakta ungkapan” itu sendiri. Dengan sederhana (tapi karena sederhana maka terbilang jenius), karya ini mengingatkan kita pada interpretasi bahasa yang berbeda-beda di dalam berbagai paradigma filsafat tentang bahasa. Jika tanda adalah memang metode representasi, Abi telah menjelaskan itu semua menggunakan perspektif seni performans. *

Endnotes:

[1] Selanjutnya, untuk paragraf ini, saya memparafrasekan pemaparan panjang Arseniev dalam artikelnya mengenai “positivisme literer”. Lihat Pavel Arseniev, “Sergei Tret’iakov between Literary Positivism and the Pragmatic Turn”, Russian Literature 103–105, 2019, hal 42–47.

[2] Jika kita merujuk dalam khasanah tata bahasa Inggris, “modalitas” dapat diartikan dengan mengutip definisi dari Endley: “…cara paling sederhana untuk menjelaskan modalitas adalah dengan mengatakan bahwa itu ada hubungannya dengan sikap yang diadopsi pembicara terhadap beberapa situasi yang diungkapkan dalam sebuah ucapan…[M]odalitas mencerminkan sikap pembicara terhadap situasi yang digambarkan.” (lihat Martin J. Endley, Linguistic Perspectives on English Grammar: A Guide for EFL Teachers, Charlotte, North Carolina: Information Age Publishing, Inc., 2010, hal. 264).

[3] Perlu kita cermati, dalam konteks ilmu bahasa, “refleksivitas” dari tanda, atau dari berbagai sistem penandaan (signifikasi), merupakan hal yang problematik. Refleksivitas merupakan konsep yang menganggap bahwa tanda dapat merujuk kepada dirinya sendiri sebagai persoalan utama, tanpa merujuk hal lain di luar dirinya. Gagasan ini berimplikasi pada pemahaman bahwa refleksivitas meminimalisir sifat representasi yang dimiliki tanda. Karenanya, pemikir mazhab filsafat klasik, yang menaruh perhatian besar terhadap “tanda sebagai metode representasi”, menganggap bahwa penekanan berlebihan pada “kehadiran” (presentasi) tanda, sebagai keadaan yang tertutup dan tidak transparan, berisiko akan merintangi akses terhadap sesuatu yang direpresentasikannya. Dengan kata lain, dualitas tanda adalah teori klasik yang mengamini keseimbangan antara sifat representasi dan presentasi tanda, juga kemungkinannya untuk “hadir” dan “tidak hadir” secara bersamaan. Kaum positivisme logis justru mencoba melihat refleksivitas ini sebagai sesuatu yang berkaitan dengan realitas, bahwa isi dari tanda, terlepas dari subjektivitas pelaku ungkapan (atau subjektivitas dari fakta ungkapan), dapat terhubung dengan realitas. Pemikir setelah era positivisme melihat refleksivitas tanda bukan hanya terhubung tetapi punya kemungkinan untuk dapat aktif mengintervensi realitas.

[4] Prashasti Wilujeng Putri, 20 Februari 2017, “Absensi Tubuh dalam Performans Abi Rama”, diakses dari situs web 69 Performance Club tanggal 13 Juli 2021, 11:41 am.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search