In Feature

DALAM BERKARYA, saya berfokus terhadap eksplorasi dan temuan-temuan dari eksperimentasi bunyi, tubuh, dan visual serta kerja kolaborasinya terhadap praktik lintas displin. Jika berbicara tentang tubuh, tentu saja kita bisa melihat bagaimana durasi, rupa, gerak, suara, serta peristiwa yang bekerja dalam suatu komposisi. Bagi saya tubuh adalah statement dan memiliki elemen yang kompleks—tubuh memiliki wacana yang beragam, terutama di Indonesia yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda tiap pulaunya.

Dalam program Artistic Development Choreographer, saya tertarik untuk melihat kembali kaitan antara pengelolaan kerja tubuh dan proses eksplorasi bunyi dan suara. Semisal pada bagaimana suara dan bunyi yang terolah pada tiap organ tubuh saat bekerja. Tubuh adalah instrumen bunyi melalui bermacam-macam cara kerjanya.

Graphic Score

Seperti yang kita ketahui notasi musik adalah sistem penulisan karya musik dan nada diwakilkan oleh sebuah not yang tersusun hingga menjadi komposisi musik. Sedangkan graphic score adalah representasi musik melalui pendekatan seni rupa kontemporer dalam konsepsinya. Dalam graphic score kita bisa bermain kombinasi visual atau bisa mengganti not pada notasi umumnya menggunakan simbol atau visual dengan kesepakatan tertentu.

Presentasi Sinyal Selatan di Forum Lenteng. (Foto: Forum Lenteng)

Sejak tahun 2018 saya tertarik dengan metode graphic score sebagai konstruksi dan kesepakatan komposisi bunyi dalam pengkaryaan saya. Maka pada tahun yang sama, saya memproduksi karya Mahakam Graphic Score di Samarinda. Lewat karya ini, saya mempelajari praktik soundscape dalam menganalisa maupun mengidentifikasi wilayah sungai mahakam melalui bunyi. Kemudian saya membuat pemetaan bunyi sungai mahakam tersebut melalui pendekatan soundmapping agar menjadi informasi visual yang bisa diakses oleh publik.

Di tahun yang sama, saya menjalani residensi di Forum Lenteng dan melahirkan proyek Sinyal Selatan. Dalam proyek Sinyal Selatan, saya mengalami soundscape sebagai memori ruang. Bisa juga dibilang mengarsipkan pengalaman tubuh di ruang tempat saya mengalami residensi. Dalam proyek tersebut, saya juga menginisiasi gelombangaudiozine.bandcamp.com, sebuah studi soundscape dan soundmapping berbasis audiozine. Platform itu menjadi database bunyi tentang lanskap kota maupun eksperimentasi bunyi lainnya.

Proses merekam Mahakam Graphic Score. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Kemudian pada tahun 2019, saya memproduksi beberapa karya graphic score yang masing-masing memiliki temuan yang berbeda saat proses berkaryanya. Bersama Milisifilem angkatan anggrek kami memproduksi sound performance karya berjudul Esion yang dipresentasikan di akademi Arkipel 2019. Dalam karya ini pengalaman tubuh saat membuat sketsa tinta cina serta kegiatan Milisifilem lainya kita bekukan melalui rekaman audio dan mengkurasi poin-poin bunyi dalam rekaman yang akan menjadi graphic score. Karena dari poin tersebut kami jadi mempunyai rujukan terhadap komposisi bunyi yang dipresentasikan malam itu melalui layar yang menampilkan graphic score yang kami buat. Karena penonton yang hadir juga diperbolehkan ikut membaca graphic score yang ditayangkan, dan secara tidak langsung membuka peluang mereka juga ikut serta dalam membangun komposisi bunyi saat performance berlangsung.

Berbeda dengan pengalaman saya mengalami bunyi di Pemenang Kecamatan Lombok Utara. Saat mengikuti residensi Museum Dongeng yang dikuratori oleh Otty Widasari dan Muhammad Sibawaihi di Pasirputih. Saya justru membuat pemetaan bunyi melalui ingatan warga tentang sekitarnya sebelum terkena gempa di tempat mereka tinggal. Narasi warga yang  berdasarkan ingatan tentang riuh tempat mereka tinggal sebelum gempa itu lama-lama menjadi dongeng karena distorsi yang terbangun dari obrolan-obrolan mereka setiap hari mengingat kejadian tersebut. Satu hal yang membekas pada saya tentang proyek tersebut, ialah saat saya dibawa ke sebuah tempat yang sebelumnya adalah sebuah pasar yang menjadi pusat kebutuhan pokok disana. Seorang teman mengatakan tempat ini dulu adalah pasar yang ramai dan riuh sedangkan saya lihat adalah sebuah lapangan kosong yang sunyi dan dilewati oleh seekor anjing.

Dalam metode Graphic Score, selain menjadi pemetaan dan bangunan komposisi bunyi dalam prosesnya kerjanya. Saya melihat bagaimana metode ini juga bisa berdiri sendiri lewat konstruksi yang dibangun dan disepakati sehingga membuka peluang lebih besar dalam pembacaan bunyi lewat memori individu masing-masing pada simbol tersebut.

Seri Performans Plague

Kemudian pada tahun 2019 saya bergabung bersama 69 performance club, sebuah platform yang berfokus tentang performans. Selama belajar bersama dengan kawan-kawan 69 performance club dan salah satunya saya melahirkan seri karya Plague. Dalam karya ini saya bereksplorasi tentang cara kerja tubuh dan bunyi serta temuannya. Semisal pada bagaimana suara dan bunyi yang terolah pada tiap organ tubuh saat bekerja.

Pada karya Plague (2019) yang dipresentasikan di Forum lenteng dalam kuratorial Framed Body, saya mengeksplorasi kerja bunyi pada tubuh melalui pendekatan akustik. Saya melepaskan busana kemudian mulai menampar tubuh dengan pola yang saya bangun perlahan-lahan yang kemudian meninggalkan bercak merah pada tubuh. Bunyi hasil tamparan pada tubuh pun terekam pada bercak merah yang saya buat sekaligus meninggalkan sisa-sisa bunyi pada ruangan akibat tamparan tersebut.

Berbeda dengan karya Plague ( Electron Edition), saya mengembangkan dengan perangkat electronis pada tubuh sebagai penghantar bunyi yang bisa dilihat jelas bagaimana sumber bunyi berasal. Dengan bantuan perangkat elektronis yang saya gunakan, pola bunyi hasil pukulan dan tamparan tersebut menjadi distorsi dan noise akibat pantulan bunyi dalam ruangan sehingga membuat ingatan tentang bunyi tersebut melekat pada tubuh.

Lain halnya dengan karya PLAGUE (Photography Edition) yang ikut serta dalam kuratorial DOMESTIC FORMATION dan dipresentasikan pada akun instagram @69performanceclub  selama masa karantina mandiri Covid – 19 tahun 2020, dalam hal ini saya mencoba membekukan bunyi lewat medium fotografi serta menyadari durasi menjadi penting dalam mediumnya kemudian bagaimana membangun konstruksi peristiwanya. Dalam membuat proses karya ini, saya menangkap pola pukulan dan dampak pukulannya pada tubuh saat melakukan aksi yang menciptakan bunyi. Selain itu dalam karya ini, saya berusaha membuka peluang tentang ingatan aksi bunyi yang terbangun lewat visual.

Dengan belajar seni performans, saya melihat bahwa tubuh adalah instrumen bunyi itu sendiri. Bagaimana membangun konsepsi bunyi pada tubuh, bahkan dalam tubuh yang sedang diam sekalipun.

_

Catatan proses Artistic Development.

Sensori

Selama program Artistic Development Choreographer saya membuat pemetaan bunyi yang berasal dari kerja tubuh melalui gerak maupun kemungkinan lainnya. Pemetaan tersebut kemudian menjadi skor grafis atau semacam notasi dengan cara mengidentifikasi dan mengkategorikan bunyi yang telah dianalisa. Selain bisa menjadi sebuah skor grafis atau notasi untuk sebuah karya performans, juga sebagai pengarsipan praktik-praktik karya performans yang terekam melalui metode skor grafis. Sehingga, proses tersebut dapat menjadi produksi pengetahuan dan pengarsipan yang bisa dibaca kembali tentang bagaimana konstruksi karya performans bekerja.

Melalui pendekatan sensori pada tubuh melalui sinyal bunyi yang dialami maupun diciptakan, saya mulai merekam satu-persatu bunyi dari kerja organ tubuh dan aksi tubuh dalam ruang saat menciptakan kerja bunyi itu. Dalam hal ini saya membuka peluang ingatan bunyi dan ruang tersebut lewat audio, Ingatan tersebut membentuk visual tentang aksi tubuh yang menciptakan bunyi maupun pengalam tubuh terhadap bunyi sehingga membentuk ingatan personal tentang adegan-adegan tersebut. Proses ini kemudian menjadi album pemetaan tubuh bunyi yang bisa didengar lewat kanal berikut:

Graphic Score Body, 2020, Theo Nugraha

Saat mempresentasikan riset ini pada tanggal 7 Desember tahun 2020 pada program Artistic Development Choreographer, saya membuat simulasi kecil dengan mengundang beberapa partisipan yang hadir untuk melakukan performans di aplikasi zoom malam itu. Dengan menggunakan perintah dari graphic score tubuh bunyi sebagai rujukan dan saya sebagai konduktor memimpin alur komposisi bunyinya, kami mulai mengaplikasikan score tersebut menjadi performans. Saya juga membuat kesepakatan untuk semua yang hadir untuk mematikan video di aplikasi zoom tersebut dengan tujuan membuka peluang yang hadir saat itu membayangkan aksi tubuh lebih performatif. Bagaimana bunyi itu membangun aksi koreografinya dan masing-masing yang hadir saat itu membagikan pengalaman visualnya melalui bunyi.

Selama program ini berlangsung saya juga mempelajari pendekatan Labanotasi atau sistem notasi untuk merekam dan menganalisis gerakan manusia yang diturunkan dari karya Rudolf Laban yang menggambarkannya dalam Schrifttanz (“Written Dance”) pada tahun 1928. Labanotasi, yang dikenal juga sebagai Kinetografi Laban, sangat membantu saya menemukan berbagai pendekatan serta temuan lebih luas dalam memperkaya pandangan berkarya dan artistik saya maupun sesama peserta.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search